Dua Februari
Apa yang kalian pikirkan ketika kakimu baru saja menjejak suatu lantai namun yang kau temui adalah keramik retak yang justru menjatuhkan mu secara cepat. Aku tidak sedang bicara tentang aku yang terjatuh atau insiden lainnya. Aku bicara tentang bagaimana dunia yang harusnya bisa menjadi pijakanku perlahan malah berubah menjadi neraka yang ingin mendadak menguburku. Harapku waktu merengek kepada Bunda meminta untuk disekolahkan di sekolah formal biasa, tentunya agar mendapatkan kawan dan bisa belajar bersosialisasi dengan manusia lainnya. Namun, kurasa, meski belum sampai akhir aku mencoba. Aku tetap tidak menemukan apa-apa.
Kelas ini asing. Ruangannya, penghuninya. Mereka dengan planet mereka sendiri, aku dengan orbitku yang tersisih. Tidak ada yang mengajakku bicara. Aku pun tidak pernah berani untuk sekadar menyapa. Aku terlampau takut. Bahkan hanya untuk memanggil nama Februari, aku tidak bisa.
Ari selalu asyik dengan dunianya. Cerah. Ceria. Aku selalu bilang tampak begitu berwarna. Pagi ini pun sama. Laki-laki itu masuk kelas setelah berhasil menyapa banyak orang di koridor depan. Siapa saja seolah mengenalnya. Dan tak jarang ada perempuan yang datang mengunjungi kelas mipa dua untuk sekadar bertemu dirinya.
Februari memang baik kepada siapa saja. Sehingga aku tidak ingin terlalu senang hanya karena teh kotak yang kemarin diberikannya. Itu hanya sekotak teh murah. Lima ribuan. Ari membelikannya karena pikirnya aku tidak membawa uang jajan. Padahal tidak seperti itu. Aku memang tidak bisa meminumnya. Tidak boleh. Tidak kalau aku masih ingin bernyawa esok harinya.
Kembali bicara tentang teman-teman sekelasku. Mereka cenderung abai. Tidak menganggapku ada. Sesekali ada yang memanggil, namun hanya untuk keperluan mereka. Tidak ada yang mengajakku untuk bergabung. Sehingga aku kadang lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di meja ku sendiri, menyantap bekal roti hambar yang bunda siapkan, atau sembari membaca buku untuk mengalihkan suasana sepi di tengah keramaian. Kurasa, sebagian pun tidak menghapalkan namaku dengan baik. Karena beberapa yang memanggilku ada yang hanya menyebut "woy" "anak baru" dan sederet panggilan tanpa nama lainnya yang membuatku mengerti mereka tidak butuh namaku. Mereka melupakan kehadiranku. Memangnya siapa Agatha? Hanya seorang murid baru yang penyakitan dan tidak bisa berbaur bersama anak-anak lainnya.
"Woy, anak baru. Hari ini jadwal lu piket. Jangan duduk aje ya, nying."
Pandanganku praktis terputus dari buku yang barusan kubaca. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi tegap dan raut tegasnya melempar sapu ke arahku yang akhirnya jatuh berdebum di lantai. Suasana penghuni kelas yang sebelumnya berisik otomatis turut bisu dan menjatuhkan semua atensi mereka kepadaku.
"Maaf, gue nggak dibolehin Bu Hani piket." Aku mencicit. Takut kepada anak itu. Dari badge nama yang tersemat di dadanya, aku tau dia adalah Nino, koor kebersihan kelas. Namanya terpampang jelas di papan jadwal piket yang ada di dinding belakang.
"Halah, alesan. Sakit apa sih lo anying, sehat begini juga. Palingan lo nya aja kan yang nggak mau piket."
"Apasih ribut-ribut?" Elissa, wakil Ari yang rupanya baru saja masuk kelas setelah dari kantin menangkap pergolakanku dengan Nino.
"Ini nih, Lis. Suruh piket napa. Gue sebel banget dari pagi gue udah piket, tapi dia nggak ngapa-ngapain. Diem doang duduk leha-leha kayak bos. Mana ada sampah di deket mejanya juga nggak diambil. Capek-capek gue bikin Frost jadi kelas terbersih di class meeting tahun lalu. Eh ini orang satu disuruh piket aja nggak mau." Nino menudingku emosi. Suaranya meninggi membuatku tak berani mengangkat wajah dan serta-merta memilih menundukkan kepala.
"Hadeh. Udah tau ini anak emas, No," sahut Elissa membuatku mengernyit heran. Beginikah anggapan mereka kepadaku? Anak emas?
"Ya tapi masa piket doang yang timbang nyapu aja gitu nggak bisa. Lo jompo banget apa gimana sih?!"
"Lo sakit apa sih, Agatha? Kok nggak dibolehin ngapa-ngapain? Emang kalo lo piket lo bisa mati?" Windi menimpali dari kursinya. Sejak tadi gadis itu memperhatikanku dengan sorot tidak suka.
"Ma—af. Maaf." Hanya kata itu yang dapat mengucur dari mulutku, itupun dengan terbata-bata. Aku tidak ingin menjelaskan lebih jauh kepada mereka. Jadilah, aku bangkit dari kursi dan memungut sapu yang dilemparkan Nino tadi.
"Maaf, maaf aje lu. Pas udah dimarahin baru sadar. Peka dikit sama lingkungan lo. Hidup nggak berporos di diri lu aja, neng," ujar Nino sebelum pergi meninggalkan kelas.
"Eh, Agatha." Elissa memanggilku. Aku senang karena dia menyebut namaku dengan benar.
"Iya, El."
"Pesan gue cuma satu, jadi murid baru jangan belagu."
Komentar
Posting Komentar