Au February: Bagian 21

 

Februari dan Tantangan


Perbubobi selalu punya markas. Yaitu rumah Ari yang selalu nyaman dan bebas. Nyaman karena mewah, besar, dan luas. Bebas karena tak ada orang dewasa yang akan mendikte dengan peraturan keras. Orang tua Ari tinggal di luarkota. Pindah karena tugas sebagai seorang walikota. Sedang Ari tidak pernah suka meninggalkan rumah yang lama. Di sini terlalu banyak kenangan, kendati suasananya terasa sepi jauh dari keramaian. Memori tentang nenek selalu ingin Ari abadikan, di setiap sudut dan jejak dinding, semua tidak ada yang berubah dari keadaan sepuluh tahun yang lalu. Bahkan, catnya dibiarkan mengelupas sebagian karena Ari menolak untuk diganti warna baru.


Perihal kenangan, tak semua orang memiliki cukup banyak momen untuk dikolasekan. Sama seperti Februari. Sehingga satu-satunya yang dia miliki hanyalah jejak benda dan ruangan yang dia pertahankan selama ini.


"Yah, kok gue lagi sih anying!" Ricky menggerutu saat ujung botol tersebut berhenti berputar dan mengarah kepada dirinya. Sudah dua kali ia harus memilih antara kejujuran atau tantangan. Kepalang sial. Sedangkan Ari dan Sandi justru lolos dari jebakan. 


Malam ini ketiganya berkumpul di ruang televisi. Menyemil kacang atom dan kue bawang favorit Ari. Padahal awalnya pertemuan ini digagas karena tugas ekonomi. Tapi justru berakhir dengan gemericik tawa dan keributan karena permainan yang diusulkan Sandi. Truth or Dare. Pilih salah satu ketika botol mengarah kepadamu. Dan siap-siap malu kalau harus membeberkan kejujuran atau harus melakukan tantangan tak masuk akal.


"Truth or dare nih, Rick." 


"Ah, elah. Nggak diulang aja apa. Masa gue terus."


"Terima aja anjir. Jangan cupu."


"Okey. Gue pilih truth."


"Hilih, takut lo disuruh dare, Rick?" Ari terkekeh menang.


"Wah, jangan main-main. Ati-ati ya lu, Ri. Gue doain lu abis ini sumpah."


"Ah, bacot lu, Rick. Gue deh yang ngasih pertanyaan." Sandi mengambil alih. Ia berpikir sebentar lalu kemudian spontan melontarkan kalimat. "Di antara cewek di kelas, siapa yang body-nya paling wiiww."


Ari mengerling tidak suka. Tatapannya berubah sengit karena pertanyaan Sandi yang terkesan tidak sopan. "San. Jangan gitu."


"Ih, apaan. Gue cuma nanya. Yang paling wiiww nih, kan artiannya banyak."


"Windi, lah!" Ricky menjawab begitu saja. Tanpa merasa bersalah sedikit pun.


"Anjir, lo!" Ari melempari Ricky dengan kacang. Namun, objek tersebut hanya memilih untuk tergelak.


"Udah, deh. Move, move. Biar cepet lo semua kena juga. Udah, kan? Gue mah jujur orangnya." Dan selanjutnya, Ricky memutar botol sprite di meja tanpa membiarkan temannya menjawab lebih dulu.


Putaran kencang yang Ricky lakukan membuat botol tersebut berhenti dalam waktu yang cukup lama. Ketiga pasang mata di ruangan itu pun mematrikan pandangan mereka dalam keheningan yang percuma. Sampai kemudian, kepala botol melabuhkan penghentiannya mengarah pada Februari.


"Nah, ini nih yang gue tunggu, bray!"


"Gas dah, truth or dare, gpl!"


"Dare."


"Uhuyy! Mother father gentleman." Sandi bersorak, sekalian menyanyikan potongan lagu PSY.


"Gue dong, gue. Gue mau ngasih Ari dare-nya." Ricky mengangkat tangan berpartisipasi. Alisnya turun-naik menandakan niat jahilnya sudah terencana dengan cantik.


"Gampang buat lo, Ri. Santuy. Nggak bakal gue susahin."


"Muke lu malah kayak Pak Burhan kalo lagi ngisengin kita ngasih 100 soal fisika, nyet."


"Hehe. Easy, nih. Lo chat si anak baru, bilang i love you."


"Anjing, Ricky!"


"Katanya berani? Gentleman nggak nih, bro?"





Komentar