Tujuh Februari
Aku berhasil. Berhasil merampungkan seminggu pertama sebagai murid SMA Anggasaka. Berhasil ini tentunya dalam artian aku bisa mengikuti pembelajaran, mengumpulkan tugas, mengikuti ulangan, dan merasakan sekolah yang sebenarnya. Namun, belum cukup dikatakan sukses dimana aku bisa mendapatkan nilai yang bagus, teman yang keren, ekskul yang membuat sibuk. Aku tidak berhasrat apa-apa. Tidak untuk pramuka, PMR, ataupun paskibraka. Bunda akan menangis kalau mendengar aku mengikuti salah satu dari ketiganya. Lagipula siapa yang akan menjamin nyawaku? Ah, lupakan saja. Yang jelas tidak untuk kegiatan yang terlalu padat. Guru bimbingan konselingku sempat menyarankanku mengikuti paduan suara, namun kutolak karena rasa percaya diriku tidak seluas samudera. Jangankan menyanyi, bicara saja aku tidak berani. Jadi, dengan sopan kutolak saran dari beliau.
"Masing-masing siswa harus punya minimal satu ekskul supaya bisa naik kelas, Agatha."
Begitu yang kuingat dari pesan Bu Hani tempo hari. Tapi, sampai saat ini pun aku belum ingin memutuskan pilihan lain. Tidak untuk ekskul teater, dance, dan segala hal yang berkaitan dengan panggung. Aku benci sorotan publik.
Sampai-sampai Denisa, gadis yang duduk di depanku pun sempat menyarankanku untuk mengikuti basket, futsal, atau karate. Namun, aku hanya bisa mengurai senyum terpaksa sebagai balasan penolakan. Denisa lumayan baik akhir-akhir ini. Dia sering mengajakku bicara. Tapi orang seperti Denisa terlalu blak-blakan untuk aku yang biasa memendam perasaan.
Kembali pada problematika ekskul apa yang mampu Agatha ikuti. Aku sudah mencoret banyak list ekskul yang ada. Kini, tersisa beberapa seperti fotografi, karya ilmiah remaja, dan seni lukis. Aku cukup berbakat dalam menggambar, aku senang dunia fotografi, dan sedikit banyaknya juga aku menyukai sains. Di antara ketiga itu, aku akan memutuskan satu pilihan. Cukup satu, meski Bu Hani bilang aku bisa ikut tiga ekskul sekaligus. Namun, tidak. Tubuhku tidak sekuat niatku.
"Lo mau ikut grafer hobies?"
Februari Rendargani mengangkat kedua alis sangsi saat aku mengulurkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler ke arahnya. Selain sebagai ketua kelas sebelas mipa dua, rupanya Ari menjabat sebagai ketua umum Grafer Hobies juga.
"Iya. Masih bisa?"
"Masih. Tiap selasa abis pulang sekolah. Join aja ke sekre GH ya.
"Ekskulnya sibuk?" Pertanyaanku yang paling krusial.
"Nggak juga. Paling kalo Mas Andi nggak ada kita cuma sharing-sharing doang."
"Oh, oke."
"Oke."
Aku berbalik. Nyaris kembali ke kursiku lagi, namun suara Ari terdengar mengusik. "Agatha, dua hari lagi gue ulang tahun. Nanti ada acara sih di rumah. Dateng ya? Semua anak kelas gue undang."
Hening. Aku diam. Ari pun sama. Ia menungguku berpikir panjang. Bahkan meski suara lonceng terdengar nyaring dari luar sana, Ari masih menunggu jawabanku. Salahku tak bisa tegas. Salahkan otakku berputar lambat. Tapi, Ari masih diam menungguku untuk bicara.
"Agatha?" Ari akhirnya lelah bersikap bungkam. Ia melambaikan tangan guna menyadarkanku dari lamunan panjang.
"Ya?"
"Dateng ya? Jangan lupa. Nanti alamat rumahnya gue share di grup kelas."
"Iya."
Aku mengutuk dalam batin. Jawaban iya adalah bentuk dari ketakutan yang sebenarnya kupendam.
"Lo nggak balik ke kursi? Ntar Pak Agung keburu masuk."
"Oh, iya." Aku melangkah kikuk. Hingga tak sengaja terantuk kaki meja. Lupa sejenak bahwa aku masih berdiri di sisi kursi Februari. Namun, sekilas kutemukan tawa kecil tersemat di wajah Ari.
Bodoh, aku masih saja mempermalukan diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar