Au February : Bagian 31

 Senja bersama Ari


Aku tak pernah pulang sore. Biasanya Pak Toto—supirku bahkan selalu siap sedia di depan gerbang sebelum selesainya jam pembelajaran terakhir. Namun, hari ini justru nihil. Toyota abu metalik yang biasanya terparkir di depan sekolahku tidak kutemukan, bahkan saat jam telah menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh enam. Aku memilih untuk menunggu. Duduk di bangku depan satpam sembari mengetuk-ngetuk kotak bekalku. Di dalamnya masih tersisa selembar roti gandum tawar yang enggan kuhabiskan.


Hilir mudik orang-orang yang melewati koridor menyeret atensiku seketika. Banyak anak OSIS yang tampak sibuk keluar masuk ruang sekre mereka. Ada juga beberapa guru yang pulang karena telah merampungkan tugas mengajarnya. Di lapangan sendiri, terlihat lebih ramai lagi. Anak ekskul basket sedang jadi penguasa dengan tubuh mereka yang tinggi semampai. Bola oranye memantul-mantul keluar masuk ring disertai suara pluit sang pelatih memekik nyaring. Aku menutup telinga. Bising juga ternyata.


Kakiku lantas membawaku untuk berpindah posisi, mencari tempat duduk yang lebih sepi. Aku memilih bangku kosong di dekat tangga. Dari sana aku bisa melihat anak-anak Karate berlatih di lapangan voli. Di sana pula, aku melihat Februari. 


Ari seharusnya tidak berbeda. Di kelas maupun di luar, personalitinya tetap secerah matahari. Namun, kali ini saat kuperhatikan betapa seriusnya Ari memperagakan setiap gerakan yang telah diajarkan sang pelatih, aku pun menyadari Februari punya pesonanya sendiri. Apalagi saat tangannya berhasil membelah batu bata tanpa ada jerit rasa nyeri. Padahal aku yang mendengarnya justru merasa ngilu bak ditusuk di ulu hati.


Aku tidak tau berapa lama waktu bergulir. Pak Toto masih belum datang, ponselku kehabisan baterai. Chargeran-ku tertinggal di mobil. Total sial. Namun, saat Ari menyelesaikan kegiatan latihannya, tahu-tahu saja pemuda itu duduk di bangku kosong tepat di sampingku. Keberuntungan di tengah kesialan ternyata masih ada. 


"Numpang duduk, ya." Ari menjinjing sepatunya. Ia menepuk celananya yang kotor karena beberapa kali jatuh di atas pasir.


"Lo nggak pulang, Agatha?"


Aku mengerjap. Benar, Ari bicara kepadaku rupanya. "Belum dijemput."


"Oh, udah ditelepon belom yang jemput lo?"


"HP gue abis batre."


"Gue ada powerbank, ambil di dalam tas gue nih." Ari menyodorkan ranselnya ke arahku sementara lelaki itu membersihkan sepatunya dari butiran pasir.


"Makasih, Ri." 


"Sama-sama, Tha. Eh lo ada air nggak?"


Aku langsung mengambil botol tumblr-ku dan menyerahkannya. "Abisin aja."


"Oke, thanks. Kena nggak apa-apa?"


"Hah?"


"Ini boleh kena apa enggak?"


"Iya." Aku tidak paham maksudnya. Namun, saat Ari menenggak botol minumku secara langsung dan menyaksikan bagaimana bibirnya menyapu pinggiran permukaannya aku tiba-tiba saja mengerti. Bahkan, tanpa sengaja semu merah mewarnai kedua pipiku, terasa hangat.


"Makasih, Tha." Ari menyerahkan botol minumku kembali, jemari kami bersentuhan lagi.


"Laper, elah. Ini Sandi kemana, sih. Lama banget rapatnya." Ari menggerutu. Menunduki ponsel, pemuda itu tampak menghubungi seseorang berkali-kali, namun hanya dijawab oleh suara operator saja.


"Lo mau roti nggak, Ari?" Entah dari mana datangnya inisiatif itu, namun aku benar-benar ingin memberikannya. Sekaligus sebagai penebus dosa karena aku sempat membalas direct message-nya dengan ketus yang kentara. "Ini, bekal gue masih sisa satu rotinya nggak gue gigit, kok. Tapi hambar nggak apa-apa?"


"Boleh nih, Tha?"


"Iya boleh."


"Wih, thanks banget loh. Gue nggak enak."


"Nggak apa-apa." 


"Lo bawa bekal terus ya?" Ari tiba-tiba berkomentar.


"Iya."


"Nggak mau coba jajan di kantin? Enak loh ayam gepreknya. Lo harus nyoba."


Aku tersenyum singkat. "Kapan-kapan aja."


"Entar deh makan sama gue ya?"


"Sama lo?"


"Iya, sama temen-temen lainnya juga. Biasanya tuh banyak anak-anak kelas kita nongkrong di kantin."


"Oh..."


"Lo udah seminggu di Anggasaka, belom ada temen yang akrab, Tha?" Ari memulai konversasi dengan membuka topik baru lagi. Sesaat kecanggungan terasa di antara kami, terutama untuk aku yang selalu kesulitan jika dicecar oleh orang lain. "Tha, kok diem lagi?"


"Gue bukan orang yang suka ngomong."


"Sukanya apa?"


"Dengerin orang cerita."


"Berarti kalo gue cerita, lo mau jadi pendengar gue?"


"Cerita apa, Ri?" 


Februari tergelak. Damai tawanya membuat perasaanku menghangat. "Becanda doang. Anak kelas nggak ada yang nyebelin, kan? Lo nggak merasa terbully kan, Tha? Mereka temen-temen gue, mostly udah gue kenal dari SD atau SMP. Mereka kalo bercanda emang keliatan bar-bar, tapi aslinya baik banget kok. Mereka juga pasti pengen temenan sama lo, Tha. Lo kalo perlu apa-apa bilang aja ke mereka, pasti dibantu kok. Jangan ngelakuin semuanya sendirian ya. Gue nggak enak juga nanti sama Bu Hani, bisa-bisa dikira kita sekelasan nge-bully lo padahal nggak ada maksud gitu sama sekali, Tha."


Aku hanya diam sejenak. Entahlah, rasanya aku tidak pernah bisa menangkap intensi ke arah pertemanan dari teman sekelas seperti yang Ari katakan. Mereka rata-rata sudah memiliki ruang lingkup yang nyaman dan kehadiranku justru hanya seumpama pengamat dari luar yang tak seharusnya terlibat dengan intrik di dalam. 


"Tha?" Ari memanggil namaku lagi karena pikirnya kesadaranku terseret lamun yang semakin jauh.


Aku spontan menggeleng. Berusaha menegaskan apa yang sebenarnya belum dapat aku yakini seratus persen. "Nggak kok. Mereka baik-baik, Ri. Lo juga baik banget sebagai ketua kelas."


Ari menyunggingkan senyum bangga. "Gue terima itu sebagai pujian. Gue udah jadi ketua kelas dari SMP soalnya."


"Capek nggak ngatur orang, Ri?" Terbersit tanya yang begitu saja akhirnya terlontar dari mulutku.


"Capek. Tapi, nggak apa-apa. Senengnya lo punya power. Susahnya kadang gue takut kalo power gue bisa bikin orang lain kesusahan. Itu doang, kok. Lagian sebatas ketua kelas easy peasy lah. Kecuali gue jadi ketua OSIS baru deh."


"Ketua kelas doang pun ada effort-nya, Ri. Jangan mendiskreditkan jerih payah lo sendiri. Lo juga pantas diapresiasi."


"Iya. Thanks, Agatha." Ari tersenyum. Meninggalkan dekik menawan di salah satu pipinya. Manis. Februari semanis cokelat yang kerap dibagikan saat valentine, namun untuk seorang Agatha, rasa manis itu tak seharusnya ada.



Komentar