Au February: Bagian 37

 

Delapan Februari dan Perpustakaan Ari



Zona nyaman yang kuciptakan selalu berada dalam lingkaran teritorial fotografi, musik, melukis, baking time, dan tersisa ruang khusus untuk kumpulan puisi-puisi yang kutulis ketika sedang bergumul sepi. Aku punya notebook kecil, pemberian Bunda saat ulang tahun kelima belas. Di sana aku menulis banyak paragraf yang tak pernah bisa kuungkapkan secara gamblang kepada dunia. Tentang Bunda, tentang harapan-harapan terakhir seorang Agatha, dan kali ini hatiku tergerak untuk menuliskan sebait sajak tentang dia. 


Februari. Ari. Laki-laki yang berlarian di pikiranku sejak sepekan terakhir ini. Ari yang menjadi kesayangan semua orang, Ari yang menjadi magnet untuk pertemanan, Ari yang pandai dan dermawan. Ari dan kesempurnaan, kupikir mereka adalah teman. Namun, sesaat juga aku menyadari, Februari tetap manusia biasa, bukan setinggi derajat malaikat ataupun dewa. Dan sebaik apapun seorang manusia, pasti selalu ada celah rahasia yang tidak ingin mereka tunjukkan kepada dunia. Aku sepakat, Ari pun berhak bersikap egois untuk dirinya. 


Namun, entah mengapa, selalu ada penasaran yang memantik diriku untuk mengupas lebih banyak tentang pria itu. Aku ingin mengenal Februari dengan cara yang baru, dengan sudut pandang yang tabu, bersama segala kotak rahasia Ari yang dikunci rapat-rapat jauh dari jangkauanku. Singkatnya, Februari membuatku ingin melangkah maju. Menerobos batas yang dari awal sudah digariskan Tuhan bahwa waktuku tidak selalu cukup untuk melakukan apa yang aku mau. Tahun ini segalanya berubah buruk, kesehatanku, kehangatan rumahku, termasuk kepergian Ayah yang menyisakan goretan luka untuk Bunda. Hingga aku pun selalu bertanya-tanya, jika suatu saat aku harus pergi, bagaimana keadaan Bunda nanti? Terpukul dengan perpisahan untuk kedua kalinya tentu hanya akan mengorek trauma lama. Harapku, Bunda akan baik-baik saja. Karena sampai detik ini pun, aku tidak pernah tahu, apakah langit esok masih bisa kulihat dari sudut jendela kamarku? Jikapun akhirnya gelap, aku pikir aku belum siap. 


"Agatha."


Bisik suara yang terdengar kontan membuatku membalikkan buku. Kuhentikan kegiatanku yang sebelumnya sedang menata diksi untuk Februari karena ternyata sosok itu justru hadir bersamaku di sini. Ari tampak santai ketika masuk memutari meja, ia mengenakan hoodie hitam yang membalut atasan seragamnya. Begitu lelaki itu duduk tepat di sampingku, kepalanya tertoleh dengan tatapan hangat dan seuntai senyum diiringi pipi berlesung.


"Lagi ngapain?"


"Cuma nyoret-nyoret aja." Aku menjawab tanpa berani menengadahkan pandangan kepada Ari.


"Kirain lagi baca buku. Gue ganggu ya?"


"Enggak."


"Lo biasanya baca buku apa, Tha? Gue lihat-lihat lo sering baca kalo di kelas." 


Apakah itu artinya Februari memperhatikanku? Tidak. Bukan saatnya berbangga hati, Agatha. Sepertinya Ari memang memegang peran sebagai observer sekaligus aktor dalam panggung sandiwara ini.


"Novel."


"Oh, genre?"


"Romance, teenlit, mystery, sama yang buku-buku self improvement gitu gue suka."


"Kakak gue yang cewe juga gila novel teenlit indo banget dulu. Sampai sekarang di kamar dia banyak banget tuh koleksi novel-novelnya Esti Kinasih, Luna Torashyngu, Winna Efendi."


"Lo punya kakak cewek?" Aku memberanikan diri menatap Ari.


"Punya. Tapi sekarang lagi kuliah di Jepang. Jadi, udah lama nggak ketemu."


"Terus lo ikut baca tuh novel-novel punya kakak lo?"


"Haha iya, Tha. Dulu kan gue kepoan waktu masih sd bingung itu buku apa sih. Ya gue baca pas kakak gue lagi sekolah. Makanya beberapa gue tau ceritanya."


"Nggak biasanya cowok kayak lo baca novel, teenlit lagi, Ri."


"Loh, tapi nggak apa-apa dong. Novelnya juga bukan melulu bahas percintaan doang. Gue suka tuh sama karyanya Luna Torashyngu yang lovasket. Gue tamatin baca semua seriesnya. Keren anjir itu. Kerasa banget vibesnya pas baca berasa lagi di gor. Dan konfliknya juga keren, persahabatan mereka juga."


"Setuju, sih. Gue juga baca Lovasket. Terus yang series Mawar Merah lo baca nggak? Itu juga keren banget tentang pembunuh bayaran."


"Iya gue baca. Keren, sih. But somehow, i think i found many plothole there. Beberapa adegan ada yang nggak make sense. Tapi, gue ngerasa not bad lah kalo diterapin di teenlit."


"Woah, i don't expect you've been reading that's indo teenfiction loh, Ri."


"Emang bacaan gue keliatannya kaya gimana?"


"Sorry, but, i don't even know you have your own interest on reading books. Seems like, lo orangnya lebih suka baca buku lks dibanding nyelam ke dunia fiksi."


"Haha enggak, Tha. Yakali gue baca buku lks aja. Gue suka baca kok, nular dari kakak gue. Sampe sekarang. Cuma nggak se-book worm lo yang kemana-mana nenteng buku. And also, you should come to my own library di rumah gue deh. Ya walaupun nggak semuanya punya gue, kebanyakan juga buku dari orang tua gue sih. Tapi isinya udah mau sebanding perpustakaan sekolah." 


"Serius?! Banyak banget berarti, Ri."


Ari tergelak. Sepertinya ia menertawakan reaksiku yang berlebihan. Namun, tidak dapat dipungkiri, aku senang. Senang karena Februari berhasil menyelam melewati salah satu zona teritorialku. Yaitu, buku.


"Iya. Lo kalo lagi pengen baca buku apa gitu chat aja gue. Entar gue cariin di perpustakaan di rumah. Biasanya ada aja gitu bukunya."


"Perpustakaannya ada komputer buat search judul bukunya juga nggak?"


"Ya enggak sih. Harus manual."


"Lo betah pasti di rumah ya kalo gitu, Ri. Banyak buku."


"Enggak juga, Tha. Percuma kalo sepi penghuninya."


"Kenapa sepi?"


"Haha, nggak kok." Ari bangkit. Rautnya berubah suram. Senyumnya pupus di tengah jalan. Lantas gelisah menghampiriku tak karuan. Kupikir, ada perkataanku yang menyinggung perasaan. 


"Ari. Are you okay?"


"Balik kelas yuk, Tha. Kayaknya ulangannya udah selesai." 


Dan Februari pun memutus obrolan dengan merentangkan jarak lebar yang semakin membuatku sadar, aku belum cukup dipercaya untuk memegang kunci loker rahasianya.





Komentar