Au February: Bagian 41

 

Agatha dan Manisnya Gula-Gula


Bunda marah. Terakhir sang angkara menghampiri Bunda adalah saat aku menolak diberi suntikan. Lenganku sudah kebal, namun perutku kadangkala masih kesakitan. Tapi, aku pernah benar-benar merasa muak untuk setiap luka yang jarum kecil itu berikan. Namun, kali ini, bunda tidak marah karena alasan itu. 


Bunda marah karena aku merengek ingin diantarkan ke rumah Februari. Beliau selalu takut. Aku pun sama. Namun, tidak ada yang lebih besar keinginanku selain ingin melihat Februari meniup lilin ulang tahunnya. 


"Nggak boleh, Bunda harus ikut. Atau paling nggak Tante Kiki dampingin kamu."


"Bunda aku bisa sendiri."


"Nggak, Agatha."


"Bunda...sekali aja? Boleh, please... Agatha nggak pernah ke acara ulang tahun temen."


Air mataku meluruh. Rasanya sesak. Aku tidak pernah bisa keluar rumah seenaknya. Tidak bisa makan sembarangan. Tidak bisa bepergian bebas tanpa kehadiran orang dewasa yang terus melakukan pengawasan. Aku bukan tawanan, bahkan mereka yang dipenjara masih lebih bebas makan apa saja dibanding aku yang hanya bisa melihat orang makan enak tanpa bisa mencicipnya.


"Agatha, nanti kalo drop gimana?"


"Nggak. Agatha janji nggak drop. Agatha kuat. Bunda...."


"Oke, boleh. Tapi cuma sejam aja di sana. Dan janji jangan makan apa-apa. Apalagi kue yang manis ataupun minuman manis ya, Tha."


"Iya. Janji, Bunda."


Sayangnya, aku tidak bisa berjanji di atas rencana semesta. Sebelum aku pergi kesana bahkan kesadaranku sudah tak lagi berpijak di dunia. Ingatan terakhir yang melekat hanyalah teriakan Mba Asmi disusul denting piring pecah dan derap langkah tergesa-gesa yang menyongsong ke arahku di saat penglihatanku tidak sempurna. 


Tuhan, kau boleh ambil kesempatanku untuk mencicip rasa manis yang ada di dunia. Tapi, bisakah kau berikan aku waktu untuk bersama Bunda lebih lama? 







Komentar