Suatu Hari di Bulan Februari
Februari tidak pernah bilang kalau acara ulang tahunnya ternyata dirayakan begitu meriah. Pesta di pinggir kolam renang, dekorasi menawan yang elegan, dan deretan makanan manis yang tersaji di atas meja prasmanan. Semuanya lengkap. Beraneka ragam. Aku bahkan kehilangan kata-kata saat menyadari bahwa rumah Ari ternyata adalah rumah mewah yang dimiliki seorang walikota.
"Kan, lo aja sampai nggak sadar Ari sekaya itu. Emang anaknya merakyat, Tha." Begitu kata Denisa sewaktu aku datang dengan kebingungan sendiri.
Namun, tetap saja, meski banyak tersedia beragam makanan di sana. Aku tidak bisa menyentuh satu pun jua. Hingga akhirnya aku memilih berdiri memisah dari keramaian dan menemukan duniaku sendiri. Dan rupanya Ari punya kolam ikan koi di area lain halaman rumahnya. Di sana aku melihat gerakan cantik ekor ikan tersebut tampak meliuk-liuk memutari air. Gerakannya terbatas. Akibat ukuran kolam yang sempit.
"Kita sama ya, sama-sama nggak bisa bebas." Aku berucap lirih seraya memandang prihatin ke bawah kolam.
"Namanya Ion. Punya nyokap gue."
"Ari?" Aku terkejut. Sosok Februari lagi-lagi muncul tanpa permisi. Dirinya terlihat sepuluh kali lipat lebih tampan dengan balutan tuksedo biru gelap kehitaman begini. "Lo nggak tiup lilin?"
"Iya. Tapi gue liat ada yang masih nongkrong nontonin Ion di sini. Jadi, gue tunda dulu."
"Eh, maaf."
"Nggak, kok, Tha. Emang belom mulai. Gue nyariin lo, terus tadi dikasih tau Denisa lo di sini."
"Enak di sini. Sepi."
"Ngeri juga lo suka tempat sepi. Nggak takut dikekepin bunda kunti?"
"Nggak, lah. Kuntinya keburu insecure soalnya rumah lo bagus banget."
"Biasa aja, deh. Bagusan istana negara," tampik Ari.
"Ya bandinginnya jangan ke istana negara."
"Haha, tapi percuma lah rumah gede isinya nggak ada."
Aku mengernyit. "Kok gitu? Nyokap bokap lo kemana?"
"Luarkota. Jarang di sini. Rumah ini jatuhnya kaya rumah kesekian, pilihan terakhir buat istirahat."
"Sepi ya, Ri?"
"Apanya?"
"Sepi ya kalo nggak ada orang tua tuh. Meanwhile, gue 24/7 dijagain banget sama Bunda gue. Nggak dibolehin kemana-mana."
"Ketebak, sih. Lo anak rumahan banget. Ini ke acara gue malem ini lo diizinin kan? Takut aja gue tiba-tiba nyokap lo marah-marah ke gue."
"Iya, diizinin, kok. Tapi ya gitu. Hehe."
"Gitu kenapa?"
"Banyak larangannya."
"Lo disayang banget ya berarti?"
"Iya kali, ya. Kalo gue mati gimana ya?"
"Ngeri banget omongan lo, Tha. Lulus SMA dulu lah. Main mikirin mati aja lo."
"Bercanda, kok."
"Nggak lucu tapi, Tha. Kalimat candaan itu bisa dibilang bercanda kalo kedua belah pihak ketawa."
"Iya, maaf."
"Nggak, kok. Lo nggak salah. Cuma gue agak sensi aja dengernya. " Ari menggaruk lehernya. Suasana canggung di antara kami membuat pria itu tidak nyaman sepertinya.
"Ri."
"Tha."
"Kok barengan, sih?"
"Lo dulu, Tha."
"Lo aja, Ri."
"Oke gue duluan ya." Ari berdeham, membebaskan serak di tenggorokan. Satu langkah mendekat sengaja ia ambil sebagai permulaan.
"Agatha." Diksiku lenyap saat Februari menyebutkan nama depanku secara lengkap. Air mukanya yang serius menandakan bahwa Februari tidak main-main untuk perkataannya nanti. "Lo beda banget malam ini."
"Beda karena gue salah kostum?"
"Bukan. Beda karena...eung—" Ari menggaruk tengkuk, memikirkan kata yang pas untuk melengkapi ucapannya. "Apa ya...cocok aja gitu pake baju putih. Beda pas waktu di sekolah."
"Di sekolah seragam gue putih kok."
"Bukan. Beda, Tha. Kayak...." Ari menaikkan alis seraya memiringkan kepala sekilas. "Kayak tuan putri."
Tanpa sadar aku menahan napas selama Ari menatapku dengan gerik salah tingkah. Lantas kualihkan sudut mata ke arah lantai bebatuan yang kupijak. Berharap semburat merah yang menguasaiku cepat pulih selekas mungkin. Terlanjur malu untuk bisa menantang tatapan Februari saat ini. "Makasih, Ari."
"Urwell, Tha. Oiya, besok pulang sekolah, temenin gue hunting foto buat lomba mau kan? Sunset di pantai kayaknya bagus. Tapi, kalo lo takut kejauhan, kita cari sunset dari atas rooftop gedung tinggi aja. Sama cantiknya kok, Tha. Gimana? Mau nggak?"
Detakku seketika abnormal. Mendadak aku ingin terlihat berani dengan menantang kedua sorot mata Februari yang tampak berharap besar di momen ini. Dekik menawan yang mencuat dari pipinya membuat aku pun semakin tidak bisa berpaling. Dan tanpa bisa kuawasi lagi, kepalaku mengangguk di luar kendali. Inginku selalu lebih besar daripada kemampuanku. Apalagi jika bersangkutan dengan Februari.
"Oiya, Ari, selamat ulang tahun ya."
"Thanks, Tha. Gue nungguin ucapan itu dari tadi."
Komentar
Posting Komentar