Au February: Bagian 5

 Masih Satu Februari


Pundakku lesu saat lonceng berbunyi menandakan waktunya jam pelajaran berikutnya. Tidak, bukan karena aku tidak suka dengan pelajaran olahraga. Yang kurasakan lebih mirip rasa kecewa karena aku bahkan tidak diizinkan untuk berganti baju seperti mereka. Petuah bunda memang benar-benar tak terbantah. Bahkan guru olahragaku langsung memintaku menuju uks ketika melihatku tetap duduk di kelas. Akhirnya aku pun melangkah gontai. Kutinggalkan teman-temanku yang tengah ribut membahas daerah kekuasaan untuk berganti baju. Sekilas kudengar kaum perempuan ingin mereka yang berganti langsung di kelas. Namun, hal tersebut total ditolak Februari. Katanya kali ini jatah para lelaki. Kulihat Ari berdebat dengan wakilnya sendiri. Kalau tidak salah, namanya Elissa. Aku mengingatnya, meski aku bahkan tidak secara langsung berkenalan dengannya. 

Dari dulu aku adalah pengamat yang baik. Aku juga mudah mengingat nama orang lain. Aku selalu mengenal mereka—orang-orang di sekitarku—lebih baik daripada mereka mengenal diriku. Sampai saat ini pun aku sangsi mereka menghapal namaku. Terbukti dari beberapa yang memanggilku, kebanyakan melabel diriku sebagai 'anak baru'. Seolah Agatha tidak punya nama. Seolah Agatha hanya entitas yang tak kasat mata dan mudah diabaikan begitu saja. Mungkin karena mereka pikir aku menyebalkan? Aku tidak tahu. Terkadang aku selalu berpikir orang-orang membenciku. Bunda bilang aku yang terlalu menutup diri. Namun, aku menolak gagasan itu, karena selama ini justru Bunda yang membatasi ruang gerakku. Aku tak punya teman. Bahkan tetanggaku hanya diperbolehkan berkunjung dalam kurun waktu yang ditetapkan. Aku juga kehilangan kontak teman-temanku semasa sekolah dasar. Tak ada waktu untuk keluar. Tak sempat pula aku berkabar. Toh, lagi pula aku sadar, manusia bukanlah rumah yang bisa kau jejak sebagai altar. Persetan semua janji. Siapapun yang ingin pergi, mereka pantas pergi. Bahkan, aku sendiri. 

"Lo bukannya di suruh Bu Hani ke UKS? Kok nongkrong di bawah pohon sawo?" 

Lamunanku buyar. Kutolehkan kepala dan rupanya sosok Februari terlihat seraya menendang bola. Lelaki itu sudah berganti dengan kaos olahraga. Gerakannya yang lincah membuatnya berhasil menggiring si kulit bundar sampai ke tempatku berada. Aku memang ingkar dari perintah Bu Hani dan guru olahragaku. Sengaja tak menuruti untuk pergi ke UKS karena aku ingin mengeksplor setiap sisi dari sekolahan ini. Sampai akhirnya aku berhenti dan duduk di atas kursi kayu dekat pohon sawo. Di sana teduh. Pemandangan lapangan basket tempat biasa para murid berolahraga juga tetap terlihat walaupun dari jauh. 

"Lo juga ngapain di sini? Nggak kumpul di lapangan basket?" 

"Disuruh ganti bola ini nih. Bolanya kempes." Ari mengangkat bola itu. Memperlihatkan kondisinya yang ternyata setengah gepeng di satu sisi. 

"Ganti kemana?" Aku tau pertanyaanku terlalu retorik. Karena bahkan tanpa Ari jawab, aku bisa melihat ruang guru yang ada di seberang. Namun, aku hanya ingin bertanya. Dan syukurlah, pemuda itu tetap memberi tanggapan dengan senyuman tipis. 

"Di sana. Tuh, ruang guru. Tau, kan? Lo udah eksplor sekolah ini belom? Jangan bilang lo juga nggak tau di mana letak koperasi atau nggak kantin." Aku pun menggeleng. Soal kantin dan koperasi, aku juga tidak berpikir untuk mengetahuinya. Tidak ada intensiku untuk pergi kesana. 

"Anjir, Tha. Nanti deh kalo habis istirahat gue anter. Itu tempat krusial yang harus lo tau di sekolah ini." 

"Nggak usah. Nggak penting." 

"Loh, kok gitu? Emang lo nggak laper? Nggak haus?" 

"Gue bawa bekal." 

"Oooh." Ari mengangguk. 

"Kalo jajan gitu enggak?" tanyanya lagi. 

"Nggak dibolehkan Bunda." 

"Wow? Gue baru tau ada anak SMA yang nggak dibolehin jajan? Kayak anak SD sama TK dong ya." Aku mendongak. Kilat mataku menunjukkan ketidaksukaanku terhadap perkataan Ari. Dan tampaknya, pemuda itu juga mengerti. Sehingga, ia kemudian berkata lagi. 

"Eh, sorry. Bukan maksud ngatain. Gue kaget aja." Aku diam. Enggan berkata. Enggan juga memberi maaf. 

"Hmmm, gue ke ruang guru dulu ya, Tha. Lo kalo mau ke UKS aja. Turutin kata Bu Hani. Entar gue lagi yang dimarahin kalo lo di sini kepanasan. Duluan, Agatha." 

"Ari..." Aku berseru. Memanggil Ari sebelum lelaki itu menjauh. 

"Iya?" Tanda tanya terlukis jelas di paras Ari yang entah mengapa tidak pernah kehilangan sinarnya. Lelaki itu tampak hidup, begitu cerah, seolah semuanya yang dia jalani berakhir sempurna. 

"Nanti kalo udah istirahat, temenin ke koperasi." 

"Ohh, okey. Gue temenin kok, Tha." 

"Makasih." 

"Sama-sama, Agatha." Februari masih tersenyum. Lekuk cantik yang muncul di salah satu pipinya juga menyembul lucu. Dia hangat. Ramah. Sangat terlihat baik-baik saja untuk bisa disebut manusia. Entah. Yang bisa kuyakini adalah Februari pasti punya kisahnya sendiri juga.

Komentar