Upacara Bendera
Upacara bendera adalah satu-satunya keringanan yang kuminta dari Bunda. Aku bahkan menolak mentah-mentah tawaran Bu Hani yang berjanji membebaskanku dari kehadiran wajib saat upacara. Saat itu aku berkilah dalam waktu satu jam berdiri tidak menjadi masalah. Toh, kakiku tidak rusak, kemampuanku berdiri masih normal dengan catatan tidak kesemutan. Aku tahan terhadap panas matahari, tidak masalah jika teriknya menyilaukan. Yang kepayahan hanyalah pankreasku. Dia yang menjadi sumber masalah hidupku. Dan kupikir tidak ada korelasinya dengan kemampuanku bertahan selama satu jam menghadiri upacara bendera setiap senin pagi. Semoga tidak. Sebab senin sebelumnya berjalan normal-normal saja.
Alhasil, pagi ini ketika lonceng sudah berbunyi, aku mengikuti rombongan siswa yang berhamburan turun ke lapangan. Plang bertuliskan kelas XII Mipa 2 menjadi tujuanku dan kutemukan Februari berdiri sembari membetulkan dasinya di situ.
"Itu bukannya kebalik?" Aku iseng berceletuk ketika menyadari Ari memutar lipatan dasi ke arah yang salah.
"Eh, iya? Gue nggak bisa pake dasi. Biasanya diiketin Kila, tapi dia nggak masuk hari ini."
"Gue bantuin boleh?"
"Boleh, Tha."
Aku mendekat ke arah Ari dengan dada berdesir hebat. Apalagi saat tanganku mulai mengatur lilitan dasi, tatapan Ari malah tampak mengikuti. Ia menunduk memperhatikan jemariku sementara aku menahan napas dengan pipi bersemu. "Udah, nih."
"Thanks, Agatha."
Ari tersenyum puas. Begitu dasi abu-abunya sudah terpasang rapi, maka praktis aku berpikir untuk menjauh. Ingin berbaris di belakang dekat pepohonan rindang. Tetapi tangan Ari malah menahan gerakanku spontan. "Di sebelah gue aja, Tha."
"Eh, bukannya biasanya Elissa?"
"Bebas kok, nggak selalu Elissa. Cuma emang dia sering di sebelah gue. Tapi, tuh anak belom keliatan. Jadi lo aja dulu berdiri di sini. Jangan ke belakang, itu mah areanya cowok-cowok berandal."
Aku terpaksa patuh. Enggan bergeser jauh dan justru tepat berbaris di sebelah Ari. Sampai anak-anak lain mulai berdatangan dan mengisi posisi, kulihat Elissa melotot ke arahku dan ingin protes kepada Ari. Namun, Februari hanya memberi isyarat agar jangan berisik karena suara microphone mulai terdengar, memberi perintah kepada setiap ketua kelas untuk menyiapkan barisan. Elissa sempat menggeser Vioni di sebelahku, alhasil yang berdiri di barisan paling depan menjadi tiga orang; aku, Elissa, dan Vioni.
"Kali ini lo gue bolehin. Lainkali, lo ambil tempat gue lagi, gue dorong lo ke barisan paling belakang," bisik Elissa lirih tepat di samping telingaku ketika Ari bersiap maju ke depan.
"Maaf." Aku menunduk. Tidak berani melihat kepada Elissa. Sepanjang upacara berlangsung, gadis itu bahkan berdiri cukup berjarak denganku. Seolah menganggapku adalah kotoran busuk yang harus dijauhi dalam skala satu meter.
Waktu mulai terasa lambat berputar saat kepala sekolah memberikan amanat. Kulihat gerik gelisah siswa dari kelas lainnya, tampak kaki mereka mulai digoyang-goyangkan karena pegal berdiri cukup lama. Sementara itu, kulirik sosok Februari di sebelahku. Posturnya masih tegap, tangannya pun terlipat istirahat di belakang pundak dengan sikap yang tepat. Rautnya tidak nampak bosan. Seperti mendengarkan dengan sungguh-sungguh pidato kepala sekolah yang sebenarnya mulai ngalor-ngidul kemana-mana.
Tapi, kemudian, tiba-tiba saja Ari menolehkan kepala. Pandangan kami lantas bertemu sepersekian detiknya. Bahkan, sekilas kutemukan senyum di bibir Ari menyisakan lekuk manis di kedua pipinya.
Aku merasa pusing seketika. Entah karena efek jantungku yang berdebar abnormal akibat senyuman Februari, atau justru karena hiperglikemiku kumat lagi. Pandanganku pun mulai mengabur beberapa detik selanjutnya, terik matahari semakin menyilaukan membakar sebagian wajahku yang tidak tertutup topi. Kupilih menundukkan kepala, dan akhirnya mengubah posisi jadi lebih membungkuk rendah karena tiba-tiba saja kram menyerang otot perutku tidak wajar. Rasanya tidak nyaman. Sudah lama sekali hal begini tidak kurasakan. Mungkin sekitar 3-4 bulan lalu.
"Heh, lo bocor ya?" Elissa berteriak di sampingku, membangun atensi orang-orang. Tangannya bahkan menunjuk ke arah rok abu-abu yang kukenakan.
Sontak kuikuti arahan Elissa dengan sedikit memutar kepala ke belakang. Dan betapa malunya aku saat kutemukan rokku meninggalkan bercak gelap basah yang tanpa harus kukonfirmasi lagi jelas itu adalah darah. Menstruasi. Aku sempat absen mengalami siklus itu dalam beberapa bulan ini, wajar karena keadaan gula darahku yang tidak stabil. Namun, sekalinya aku mengalami menstruasi, perdarahannya akan sangat banyak dan merepotkan sekali.
"Ihh, jijik. Bocor."
"Anying bendera jepang."
"Woy, makanya pake yang bersayap."
"Eh, cepetan ke wc anjing jangan diem aja lo."
Aku tidak bisa menggerakkan kaki. Riuh olokan teman-teman sekelasku yang berbaris di belakang membuat kepalaku semakin pusing. Amanat pembina upacara bahkan terhenti karena keributan yang terjadi. Semuanya menatapku dengan beragam pandangan, ada yang jijik, kasihan, dan ada juga yang terang-terangan menertawakan.
Lantas dengan sisa pertahanan yang kumiliki, kutolehkan kepalaku ke arah Ari. Posturnya yang tadi tegap dan siap mengikuti upacara berubah kaku dengan mulut menganga tidak mengerti. Di saat seperti itu, duniaku kehilangan keseimbangannya sendiri. Benda-benda dan orang disekelilingku seakan berputar hebat, kelopak mataku bahkan tidak kuat lagi untuk menahan sorot mataku yang dilapisi selaput bening. Aku malu. Merasa kotor. Merasa terhina. Dan lagi, aku kecewa karena Februari menatapku seperti alien menyedihkan yang patut diasingkan seluruh penduduk bumi.
Hingga saat kesadaranku nyaris hilang, aku pun ambruk, namun kurasakan sepasang lengan menyangga tubuhku agar tidak mencium tanah utuh. Lalu entah bagaimana, aku masih dapat mendengar pekikan nyaring perempuan yang kuyakini adalah Elissa.
"Ari! Dia lagi mens ngapain lo gendong! Tangan lo ikut kotor nanti!"
Lantas sebelum semuanya lenyap dalam pandangan yang menggelap, kupaksakan kelopak mataku membuka sedikit. Dan meski tampak kabur, aku bisa mendapati rahang Ari yang mengeras selagi menggendong tubuhku dalam keadaan berlari menuju unit kesehatan.
Komentar
Posting Komentar