Au February: Bagian 6

 Ari dan Teh Kotak

"Agatha!"

Suara Ari. Aku cepat mengenalinya bahkan sebelum aku membalikkan badan. Dan nyatanya benar saja. Februari tidak ingkar janji. Dia datang dengan masih mengenakan seragam olahraga, rupanya setelah jam pelajaran berakhir, alih-alih lari menuju kelas seperti teman-teman lainnya, Ari malah menemuiku. Yang masih tetap duduk di bawah pohon sawo sambil membaca buku The Midnight Library yang sengaja kubawa dari rumah untuk membunuh sepi.

"Lo nggak ganti baju?"

"Gampang. Males rebutan sama cewek."

"Tadi, rebutan?"

"Haha iya kalo di awal harus rebutan biar gece."

"Ooh."

"Gimana? Mau ke koperasi? Kebetulan gue haus banget."

"Iya, boleh." Aku menutup buku yang belum selesai kubaca, tak lupa aku juga menyelipkan pembatasnya di sana. Ari menungguku bangkit, sampai kemudian kami berjalan beriringan menuju koperasi. Jujur, aku tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki. Kecualikan untuk Ayah, guru, ataupun dokter yang biasa memeriksaku.

"Tha, sorry ya kalo bau. Keringetan." Ari berbisik lirih. Dia sedikit menjauh dariku kendati bahkan aku tidak mencium bau busuk yang menyengat. Hanya terendus bau keringat biasa yang bercampur dengan wangi parfumnya.

"Iya." Aku hanya merespon begitu saja. Dan Ari pun diam. Terus berjalan mengiringiku dan menuntun menuju koperasi. Letaknya sedikit tersembunyi di balik ruangan kelas bahasa. Dan kemudian mulutku nyaris menganga menyaksikan panjangnya antrian siswa.

"Banyak banget?"

Ari tertawa. "Emang kalo abis olahraga ini orang-orangnya kalap kehausan. Salah sih sebenernya dateng pas istirahat. Lihat aja tuh, koperasinya kecil, siswanya di sekolah ratusan. Gimana nggak desak-desakan. Jadi, lo masih mau ke koperasi?"

"Lo sendiri masih mau ke koperasi?" Aku bertanya balik.

"Masih. Gue harus bertarung demi tahu bakso koperasi. Enak banget sumpah lo harus coba, Tha."

Senyum kupaksakan untuk merespon keriangan Ari. Dan ketika semakin dekat kami dengan antrian yang memanjang, tanpa diduga Ari menarik lenganku dan menuntunku untuk menerobos kerumunan. "Loh, Ri. Nggak antri?" tanyaku heran.

"Keburu Pak Yasin masuk, Tha. Udah santuy, anak kelas 12 juga."

Dan Ari benar-benar menyelip di antara antrian orang-orang, sementara jemarinya menggenggam lenganku erat. Aku terdorong oleh luapan massa. Bahkan nyaris terjepit pintu kalau Ari tidak buru-buru merangkul tubuhku mendekat. Dalam kondisi begini, aku begitu panik, sedangkan Ari berjalan sangat tenang. Saat berhasil melewati deretan manusia yang memadati pintu masuk koperasi, Ari lantas melepaskan genggamannya. Ia tertawa renyah melihat rautku tampak ketakutan.

"Lo harus biasain begini kalo mau jajan cepet, Tha. Yuk, ah keburu masuk." Dan setelah itu, aku pun mengekor Ari lagi. Dia berjalan kesana-kemari, sebentar mengambil gorengan, kemudian berjalan ke arah rak minuman. Geraknya cepat sementara aku hanya sibuk mengamati keramaian. Asing. Semua ini begitu asing untuk diriku.

"Lo nggak beli apa-apa?" Begitu Ari ingin membayar ke kasir, lelaki itu sadar aku berjalan di sisinya hanya dengan sepasang tangan memeluk buku.

"Nggak."

"Lah, nggak laper haus?"

"Nggak."

"Serius? Bawa uang jajan kan lo?"

"Enggak."

"Hah?! Sumpah? Lo nggak uang jajan sama orang tua lo?" Aku lagi-lagi menggeleng. Sebenarnya bukan tidak diberi. Tapi, aku tidak perlu. Toh, aku tidak diperbolehkan makan selain masakan Bunda yang teruji keamanannya.

"Yaudah, gue beliin, deh. Tunggu bentar." Ari berbalik lagi, kali ini kulihat dia membuka kulkas dingin dan mengambil teh kotak. Lalu, lelaki itu menyempatkan untuk meraih sebungkus roti di rak terdekat.

"Nih, pegang. Gue bayarin."

"Nggak usah, Ari."

"Nggak apa-apa, Agatha."

"Nggak—"

"Lo nolak, gue nggak bantuin keluarnya nanti."

Aku bungkam. Akhirnya kubiarkan saja Ari mengantri di meja kasir dan membayar juga untuk teh kotak dan rotiku. Februari keras kepala. Dan tanpa sadar aku tidak keberatan harus menuruti perintahnya.

Komentar