Yang Akan Kutinggalkan
"Tha...."
Pandanganku masih buram, seperti kaca jendela ketika terkena uap panas. Namun, kendati mataku tidak bisa memproyeksikan jelas figur wajah Februari, suara rendahnya tentu masih dapat kukenali. Lelaki itu berdiri di sisi kiri, seolah sedikit membungkuk dan kemudian bergerak ke arah nakas. Sementara aku perlahan mencoba bangun, Ari pun menyodorkan segelas teh hangat. "Minum dulu, Tha."
Netraku yang sudah bisa melihat jelas, refleks menggeleng tatkala menemukan tumpukan sisa gula yang belum tercampur rata bergumul di bagian bawah gelas kaca. "Air putih aja, Ri."
"Kenapa?" Ari mengernyit bingung. Ia bahkan membaui teh hangat itu untuk memastikan tidak ada hal aneh yang membuatku enggan untuk meminumnya.
"Nggak. Gue cuma mau air putih."
"Ini tehnya tadi gue beli di kantin baru kok, Tha." Aku hanya menggeleng dalam diam. Enggan menjelaskan kepada Ari.
"Oke. Sebentar." Ari meraih ransel hitam miliknya yang teronggok di bawah tempat tidurku. Ia kemudian mengeluarkan botol berwarna hijau kaktus dari sana dan menyodorkannya ke arahku. "Minum aja."
"Punya lo tapi?"
"Kemaren-kemaren juga gue minum air dari botol minum lo, kan?"
Serta-merta pipiku menghangat, teringat kejadian tempo hari ketika menunggu jemputan bersama Ari. Spontan kutundukkan kepala, takut saja kalau Ari menyadari aku sedang salah tingkah begini. Salahkan debar jantungku yang abnormal. Mengapa sih dia memberontak dan mempercepat laju iramanya tanpa perintahku.
"Oiya, Ari, Bu Hani di mana?" tanyaku mengalihkan topik dan situasi.
"Bu Hani ada ngajar, Tha. Jadi dia titipin lo ke gue dulu. Orangtua lo lagi di perjalanan kesini soalnya."
"Terus lo nggak ke kelas, Ri? Ini pasti udah masuk matematika."
"Nggak. Gue udah izin. Nggak apa-apa, kok. Gue tunggu sampai ortu lo dateng ya, Tha?"
"Ari, nggak usah. Gue...gue cuma..." Aku menunduk malu. Baru saja teringat fakta aku pingsan begini karena sedang menstruasi.
"Perut lo kram ya?"
"Hah?"
Ari tersenyum. Lalu menyodorkan obat pengurang nyeri haid yang sebelumnya ada di atas nakas. "Nih, minum. Seinget gue sih dulu waktu kakak gue sakit perut karena menstruasi, dia suka minta gue beliin obat ini. Gue nggak tau sih efek dan khasiatnya gimana. Tapi semoga bisa ngurangin kram yang lo rasain."
Aku terpana. Tidak menyangka dengan segala afeksi yang Februari berikan. Hal-hal kecil seperti ini sebelumnya tidak pernah kudapatkan dari lawan jenis. Jangankan berinteraksi, untuk keluar rumah dan bicara dengan orang asing saja aku tidak berani. Tapi, toh Februari sudah melangkah jauh dengan melewati daerah teritorinya sendiri. Kami sekarang bersinggungan di satu titik. Dipertemukan oleh cakapnya semesta meramu takdir pertemuan setiap anak manusia.
"Ari. Makasih. Maaf ngerepotin." Senyumku praktis terbentang. Ikut merayakan kemunculan dekik manis di pipi Februari. Lucunya. Matanya tersisa dalam bentuk segaris tipis. Entah apa yang membuatnya tersenyum, namun yang jelas aku ingin membalas kebaikannya dengan senyuman juga.
"Sama-sama, Tha. Nggak usah minta maaf, belum lebaran."
"Iya."
"Jadi mau minum obat nggak? Biar gue bantu siapin? Atau mau ke toilet dulu, gue juga beliin pembalut tadi di koperasi."
"Ari. Lo malu nggak sama gue tadi?" Jujur, di situasi saat ini aku seperti kehilangan kepercayaan diri. Rasa malu seakan menampar wajahku keras karena Ari sudah melihat diriku dalam versi terburuk dan menjijikkan sekali. Seharusnya lelaki ini pergi, lantas mengapa berdiam di sini dan menungguiku sampai sadar?
"Nggak lah. Dengerin ya, Tha. Setau gue ada sekitar 50% dari populasi dunia itu kaum wanita, artinya 3,90 miliar jiwa normalnya mengalami menstruasi. Jadi, apa yang harus bikin gue malu? Lagian, kakak cewek gue juga pernah tembus kok pas tidur di kamar gue. So, itu bukan hal aneh yang pantes diperdebatkan."
"Tapi, Ri. Harusnya lo pergi aja. Kenapa lo mau di sini nungguin gue dan ngebantuin gue segininya. Gue bukan siapa-siapa lo."
Ari bungkam. Tatapnya menghujaniku dengan seribu tanya. Netranya bergulir mengincar pandangku yang sengaja tertunduk tidak berani. "Agatha...lo sakit apa sebenarnya?"
"Sakit?" Air mukaku berubah pasi. Tidak mengira bahwa Ari akan mempertanyakan hal ini.
"Pas gue bawa lo ke sini. Gue sempet denger Bu Hani nelpon orang tua lo. Bu Hani khawatir banget. Bahkan sampe kepikiran mau bawa lo ke rumah sakit langsung. Gue cuma penasaran, selama ini Bu Hani bilang kalo lo nggak boleh kecapean, lo nggak boleh ngelakuin pekerjaan berat. Tapi gue nggak tau sama sekali apa yang sebenarnya lo alamin, Tha. Lo nggak pernah cerita. Apa harus gue barter pake cerita gue dulu biar lo mau cerita juga sama gue tentang diri lo Agatha? Gue mau kenal lo lebih jauh. Gue mau tau apa yang lo sembunyiin selama ini. Gue pengen tau tentang semua hal yang berkaitan sama diri lo. Itu alasan kenapa selama ini gue ada di sini, Tha."
Ah, rupanya Tuan Matahari hanya sedang ditelan rasa penasaran. Aku kemudian menghela napas panjang. Batinku jadi ikut bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kuharapkan tentang Februari? Dia hanya seorang ketua kelas yang diberikan amanah oleh Bu Hani untuk memonitor keadaanku. Ari hanya melakukan tugasnya. Pun aku seharusnya bisa melakukan tugasku pula. Menjadi seorang Agatha yang menikmati indahnya masa SMA di sedikit waktu yang tersisa.
"Ari, gue nggak apa-apa. Cuma orangtua gue memang lebih protektif aja kok."
"Bohong," cetus Ari dengan raut kecewa. "Lo masih nggak mau jujur?"
"Ari, gue tau lo orangnya memang peduli sama orang lain. Gue tau lo memang orang yang baik. Tapi, lo harus lebih peduli sama diri lo juga. Lo di sini bukan sebagai tokoh yang harus nerima semua beban hidup orang lain buat lo pikul. Dan gue di sini juga bukan sebagai individu yang bisa mempublikasikan cerita gue untuk jadi tayangan massa. Apa yang seharusnya jadi rahasia, tetap akan jadi rahasia buat gue, Ri. Gue nggak mau rahasia yang gue bagikan bikin orang lain semakin terbebani. Gue cuma mau nikmatin waktu gue dan berusaha jadi Agatha yang bisa ngebahagiain orang-orang di sekitarnya. Jadi, boleh tolong berhenti ungkit soal gue yang dapet perlakuan khusus. Karena gue pun nggak suka, Ri. Gue nggak pernah mau diginiin. Gue mau jadi anak biasa, kayak lo, bisa ngelakuin apa aja tanpa perlu pembatasan."
Maaf Ari.
Semakin sedikit orang yang mengetahui hal ini. Semakin sedikit juga mereka yang harus kutinggalkan nanti.
Komentar
Posting Komentar