Senandung Bulan Juni Bagian 24

 

Teman Baru


Dasi warna hitam bercorak garis cokelat muda khas seragam SMA Bharatayudha sudah melekat rapi di leher Nirwana, begitu pula dengan jas hitam yang bersemat lambang khusus berbentuk huruf B dengan aksen sulur emas nan elegan. Menilik penampilannya sekali lagi di cermin, Nirwana tersenyum puas. Gadis itu bahkan berputar-putar bak putri dari negeri dongeng yang sedang memamerkan gaun cantiknya. Tiga puluh menit lamanya ia melakukan kegiatan yang sama, mematut diri di depan cermin saking takutnya melupakan sesuatu dari penampilannya. Lantas ketika ketukan pintu terdengar, disusul lembutnya suara Oca, Nirwana pun mengakhiri aksinya. Gadis itu segera menyambar tas punggung yang sebelumnya digeletakkan di atas kasur.


"Udah siap?" tanya Oca dibalas anggukan oleh Nirwana.


"Cakep banget lo, Nir. Gue jamin deh, entar banyak yang ngajakin lo kenalan, sih."


"Apaan deh, Ca. Jelas cakepan lo kali." Nirwana mengibas tangan malu. Menurutnya penampilan Oca jauh lebih sempurna. Gadis itu terlihat elegan, tenang, rapi, dan yang pastinya menawan sekali.


"Yuk, turun. Makan dulu."


Mengekori Oca, Nirwana pun menuruni undakan tangga menuju ruang makan. Begitu tiba di sana, ia lantas menemukan Juni duduk di salah satu kursi sembari sibuk mengoleskan selai pada roti. Lelaki itu seperti tak terusik sedikitpun oleh kehadiran mereka. Rupanya telinganya sengaja disumpal headphone yang sepertinya disetel dengan volume maksimal sehingga samar-samar Nirwana masih dapat mendengar suara Tulus dalam lagu Langit Abu-abu. 


"Ibu lo mana, Ca?" tanya Nirwana mendadak ingin tahu saat menyadari tidak ada orang dewasa lain yang makan di sini menemani mereka.


"Oh, Mami. Mami nggak makan pagi, Nir. Biasanya makanan dianterin ke paviliun."


"Aaah, Mami lo sibuk banget ya kayanya."


"Haha iya. Bulan depan ada peluncuran novel yang editornya itu Mami. Jadi makanya sibuk banget. Terus dua minggu lagi juga buku dongeng buatan Mami bakalan keluar di gramedia."


"Kalo Om Fandi kapan baliknya, Ca?"


"Kayanya lusa. Tapi nggak tau juga—"


"Ca, gue duluan." Juni menyela ucapan Oca. Ia lalu bangkit dari kursi dan meraih ransel untuk disangga di pundaknya. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik lagi seperti baru saja mengingat sesuatu. "Oiya. Gue peringatin ya, awas aja lo sampai sok kenal sama gue di sekolah. Pokoknya anggap aja kita nggak pernah ketemu. Atau jauh-jauh deh selama di kelas. Muak liat muka lo."


Nirwana kontan melotot. Ekspresinya berubah jengkel tatkala mendengar peringatan yang diberikan Juni untuknya. "Dih, ngapain gue pansos ke lu. Tenang aja, gue nggak bakal nganggap lo ada kok di kelas."


"Bagus, deh. Gue nggak mau reputasi gue rusak," cetus Juni, kemudian membalikkan badan pergi.


"Ceilah reputasi, udah berasa artis aja lo. Paling lo dikenalnya cuma sama satpam sekolah gara-gara suka minta bukain gerbang sebelum jam pulangan." Nirwana menggerutu. Bahkan meski presensi Juni sudah menghilang dari balik pintu. Oca di sebelahnya sebagai pengamat pun hanya bisa menahan tawa. Ia tidak mengerti mengapa Nirwana dan kembarannya seolah dua kubu besar yang sedang terlibat perang dunia. Cekcok dimana-mana.


"Nggak usah diladenin, Nir. Tapi emang bener sih, lo jangan sampe bilang lo kenal Juni di sekolah."


"Lah kenapa?"


"Biar hidup lo nggak sengsara."


Nirwana lagi-lagi tidak mengerti. Dan gadis itu adalah tipikal yang ketika dilarang justru akan semakin penasaran sampai mati. Jadi, jangan heran jika suatu hari nanti, Nirwana tetap melalaikan peringatan Juni.


•••


"Ini kelas lo tinggal naik tangga satu lagi, Nir. Jadi, gue duluan masuk ya? Lo bisa sendiri kan?" 


"Eh iya, Ca. MIPA 4 kan tadi tuh? Gue bisa kok sendiri." 


Setelah meyakinkan Oca dan mengantar gadis itu masuk ke dalam ruangan kelas 11 SOS 2, Nirwana pun berjalan sendirian menaiki tangga. Koridor yang cukup ramai langsung menyambutnya begitu tiba di lantai tiga. Di sini adalah deretan kelas anak-anak jurusan IPA yang awalnya Nirwana kira akan lebih sepi dan tenang, tetapi ternyata justru sama ributnya dengan koridor anak sosial di bawahnya. Bahkan di sini Nirwana bisa meliat ada yang berlarian saling kejar-mengejar antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Si perempuan bersenjatakan sapu yang dipergunakannya untuk memukul laki-laki itu. Sedangkan si laki-laki, berusaha melindungi diri dengan membentengi kepala menggunakan pengki berwarna merah muda.


"Hey! Stop it, Li. Sadar. Takbir. Iya, gua bayar kas deh ya."


"Nah. I don't believe in you. You say it almost a thousand times, but you haven't done it even at once, Rio!"


"Hehe. Sorry. I forgot. Seriously!"


"Lupa mulu, tapi pas gue ingetin ngelunjak."


"Udah, Li. Udah. Malu, Li." Laki-laki itu berjongkok di tengah koridor sembari mempertahankan pengki di atas kepalanya sebagai payung perlindungan dari sapu si gadis yang dipanggilnya 'Li.'


Nirwana yang mengamati dari jarak cukup dekat hanya bisa mematung di tengah jalan. Ia ingin mencoba menyusupkan diri kabur dari keributan, tetapi mendadak laki-laki berwajah bule itu bangkit dan bersembunyi di belakang Nirwana. 


"Caesario!" 


"Eh, eh, sorry!" Nirwana sekarang berhadapan dengan si gadis sementara orang bernama Caesario itu memegangi pundaknya dan mempergunakan dirinya sebagai benteng. 


"Minggir lo!"


"Gue nggak mau ikut campur, sumpah!"


"Ya lo minggir!" teriak gadis itu dengan suara nyaring meningkat lima oktaf.


"Ya nggak bisa ini cowok lo megangin tas gue!" Nirwana refleks ikut meninggikan ucapannya. Ia berusaha melepaskan diri dari si pembawa pengki dan si pembawa sapu yang terlihat anarkis. Di tengah kebingungan ini, Nirwana tiba-tiba mendapatkan ide gila, ia lantas memundurkan tubuhnya dan membuat lelaki tersebut terhimpit di belakangnya.


"Eh, anjir kaki gue keinjek!" Caesario menjerit saat ujung jari kakinya diberi tumpuan berat badan Nirwana.


"Cepetan ini lo pegangin!" seru Nirwana kepada si gadis pembawa sapu. Dan dengan sigap, mereka berdua pun bergerak meringkus si laki-laki dan membuatnya tergolek lemah di lantai. 


"Thank you."


"Anytime."


"Wah parah gua dikeroyok."


"Gue, Lili. Lo?"


"Nirwana."


"Hi, call me Caesar." Meski terbaring dalam keadaan diduduki oleh Lili, Caesario masih mencoba ikut menimpali konversasi.


"Diem! Bayar kas lo dulu sini!"


"Dasar bendahara brutal!"



Komentar