Senandung Bulan Juni Bagian 11

 

Neraka dan Bencana

Suasana ruang keluarga Azwar hening, nyaris tak ada bising kecuali bunyi denting sendok yang beradu dengan piring. Empat kepala yang duduk melingkari meja seolah enggan berniat membuka mulut kendati berbagai macam pikiran berkecamuk di dalam benak mereka. Bahkan saat makanan telah habis disantap masuk saluran cerna, bungkam masih menjadi pilihan setiap insan yang kini beradu pandang dengan sorot mata kecewa. Sampai kemudian Nyonya Gayatri pun tidak lagi tahan untuk mengunci mulutnya, wanita itu berdecak kesal. Menampilkan gurat wajah tanda amarah yang sebelumnya tersembunyi elok di balik riasan cantiknya.


"Pa, bawa orang asing ke dalam rumah ini itu bisa berbahaya loh. Kamu nggak tahu betul anak itu gimana tabiatnya, sikapnya, sifatnya. Kamu cuma kenal ibunya yang udah meninggal. Apa yang bisa kamu jamin, Pa?" Fandi Azwar mengusap dagu dengan sapu tangan. Pengacara kondang tersebut mencoba tetap bersikap tenang sedangkan sang istri mulai meledak-ledak.


"Papa, Mami bener. Kalo cuma karena balas budi, Papa nggak perlu bawa masuk anak itu kesini. Cukup Papa kasih dia uang, biarin dia hidup sendiri. Ngapain Papa susah payah mau ngehidupin dia dan ngerawat dia di rumah kita? Juni nggak suka ada orang asing di rumah ini, Pa." 


Kali ini dukungan datang dari putra tertuanya, Juni Alegori Azwar. Anak lelaki itu memang mewarisi utuh kepribadian ibunya yang mudah terpantik emosi. Sehingga tak heran bila apapun yang Nyonya Gayatri pilih akan selalu seiras dengan keinginan Juni. "Okay, kalau begitu, sekarang Papa pengen denger pendapat Oca." 


Oktavina Yoka mengedip lambat. Saat ini ketiga pasang mata menjurus ke arahnya dengan sorot memaksa. Oca yang sedari tadi memilih menunduk dan enggan sekali mengeluarkan pendapat merasa tersudut ketika keluarganya memintanya berbicara. "Oca nggak tau. Terserah Papa aja."


"Pa, percuma tanya Oca. Dia tuh iya-iya aja orangnya." Juni kembali merenggut atensi dengan menyela pembicaraan. Sebagai saudara kembar Oca yang sudah membersamai gadis itu sejak masih dalam kandungan, Juni rasanya sudah hapal mati seluruh sikap dan tabiat Oca. 


"Juni, dengerin Papa. Papa ngelakuin ini karena Papa udah janji sama sahabat Papa. Kalau sampai nanti salah satu di antara kami meninggal duluan, kami berjanji untuk mengasuh anak yang ditinggalkan. Terkecuali anak itu sudah berkeluarga. Dan sepanjang yang Papa tau, Nirwana sekarang tinggal sebatang kara, Jun. Dia nggak punya ibu, dan bapaknya masih jadi buronan polisi. Papa nggak bisa biarin dia gitu aja, Jun. Apalagi usianya masih seumuran kamu. Dia masih perlu dididik di dalam keluarga, Nirwana juga perlu figur orangtua, Jun."


"Tapi, Pa. Background keluarganya buruk! Kamu cuma kenal sama Ibunya. Nah ayahnya, buronan! Apa ceritanya kalo kamu seorang pengacara terkenal ngasuh anak buronan. Malu, Pa. Dan lagian, buah itu jatuh nggak jauh dari pohonnya. Mami yakin, itu anak sifatnya nggak jauh beda sama ayahnya."


"Mi, kamu nggak bisa memastikan begitu dong. Gimana kalo ternyata Nirwana justru sifatnya kayak ibunya yang udah nolong aku dari kematian. Nggak ada yang tau. Lagian, kalaupun Nirwana sifatnya kayak ayahnya, aku malah semakin pengen ngasuh dia, Mi. Aku pengen dia nggak salah langkah dan dididik di keluarga baik-baik."


"Pa, papa nggak bisa jadi sabun yang berusaha bersihin kotoran. Kalo kotorannya jauh lebih pekat, yang ada sabunnya yang jadi kotor. Sama kayak yang papa lakuin, nggak semudah itu ngerubah diri orang, Pa. Konsekuensinya cuma ada dua, Papa berhasil atau keluarga kita hancur," tandas Juni menyelesaikan kalimatnya tajam. Pria itu lantas bangkit dari kursi dan berjalan menjauhi ruang makan. Juni sudah muak, muak dengan Papa dan kebaikannya yang kerap menjadi celah untuk musuh menggeledah.


Lagipula kenapa tidak menitipkan anak itu di panti asuhan saja? Juni pikir itu akan lebih mudah dibandingkan bersikap sok superhero dengan menyelamatkan hidup anak seorang buronan. Namun, Juni sadar pendapatnya tak akan bisa menggoyahkan niat papanya. Sekali Fandi sudah berikrar, tak ada yang bisa mencegah apapun itu tindakan yang akan dilakukannya. Bahkan anak dan istrinya sekalipun. 


So, here we go. Welcome, Nirwana. Atau haruskah Juni justru menyebutnya sebagai neraka dan bencana.






Komentar