Hati-hati dengan Arutala
Sebelum memarkirkan mobil Juni di garasi, Nirwana nyaris tidak percaya dengan keberadaan gedung mewah bertingkat di hadapannya yang ternyata adalah hunian seorang Fandi Azwar. Berkali-kali Nirwana mengecek lokasi yang dikirimkan Om Fandi untuk memastikan ia tidak salah alamat dan memang nyatanya inilah rumah milik pengacara kawakan tersebut. Diliat dari kemegahannya, jam terbang Om Fandi dalam dunia hukum sudah tidak perlu diragukan lagi. Sepertinya beliau pun masuk kalangan pengacara kelas atas yang imbalannya dalam rentang ratusan juta sampai milyaran rupiah. Fantastis. Betapa bodohnya Nirwana karena sempat berpikiran bahwa Om Fandi sengaja mengangkatnya sebagai anak agar bisa memperoleh bagian dari uang asuransi Bunda layaknya alibi Tante Mirna. Padahal jelas-jelas harta pria itu jauh lebih banyak daripada asuransinya yang tak seberapa.
"Ini gue masuk lewat mana ya." Nirwana memutar kepala mencari-cari pintu masuk yang benar tapi sejauh mata memandang begitu banyak pintu yang terpajang membuatnya kebingungan.
"Neng, ini barang-barangnya saya bawain kemana?" Nirwana diam sejenak. Berpikir dulu sebelum menjawab pertanyaan Pak Agus—satpam yang tadi membukakan gerbang dan membantunya mengeluarkan koper.
"Hmmm, Pak. Ini saya nggak tau juga sebenernya kamar saya dimana nantinya. Kira-kira, Om Fandi ada ngasih pesan nggak ya?"
"Walah, coba tanya Teh Oca gimana. Kayanya Teh Oca udah tau. Atau mungkin bisa tanya Nyonya Mami langsung."
Nirwana mengernyit. "Teh Oca tuh siapa, Pak? Nyonya Mami juga siapa?"
"Teh Oca itu kembarannya Aa Juni atuh. Anak cewenya Tuan. Kalo Nyonya Mami sih istrinya Tuan."
Nirwana nyaris tersedak tawa. Hampir saja ia mengira Teh Oca yang dimaksud adalah Rossa—sang diva Indonesia, pelantun tembang hati yang tersakiti yang kerap mengisi soundtrack sinetron azab itu. "Kalo gitu, anter saya ketemu keluarga Om Fandi deh, Pak."
"Nyonya Mami sepenglihatan saya sih lagi di paviliun, Neng."
"Wih, ini rumah ada paviliunnya juga?" Mata Nirwana melebar sempurna.
Pak Agus mengangguk. "Ada, di sana tempat khusus buat Nyonya Mami kerja, Neng."
"Kerja apa istrinya Om Fandi, Pak? Pengacara juga?"
"Bukan. Nyonya Mami editor dan ilustrator buku dongeng anak."
"Oooh." Nirwana manggut-manggut. "Yaudah, anter saya ketemu Oca aja ya, Pak."
"Siap, Neng. Lewat sini ya kalo mau ke kamar Teh Oca."
•••
"Oooh, ini yang namanya Nirwana. Sini masuk kamar gue, Nir. Pak Agus, ini barangnya Nirwana taroh dulu di kamar lantai dua. Kamar yang sebelahan kamar Kak Juni itu loh."
Oktavina Yoka—atau yang kerap disapa Oca adalah yin dan yang jika disandingkan dengan Juni. Nirwana menemukan fakta tersebut sejak pertama kali Oca menyambutnya dengan hangat dan ramah, bahkan mempersilakan dirinya masuk ke dalam kamar seolah mereka ada teman yang sangat akrab. Menilik interior ruangan Oca yang didominasi oleh warna pastel, berikut deretan lemari yang menyimpan koleksi sepatunya, beserta meja yang dipenuhi alat make up, Nirwana segera bisa menebak kepribadian Oca. Lain dengan Juni yang memberikan impresi kegelapan, Oca layaknya permen kapas warna-warni dengan kelembutan dan manisnya sikap gadis itu.
Bisa-bisanya mereka adalah anak kembar, pikir Nirwana heran. Sebab tidak ada yang bisa dikatakan identik di antara Juni dan Oca. Bahkan, wajah mereka tidak terlalu mirip satu sama lain. Ini sih waktu di kandungan, Juni pasti kebagian nutrisinya paling dikit makanya yang baik-baiknya diambil Oca semua, begitu batin Nirwana.
"Oiya, Nir. Lo santai aja yaa sama gue. Anggap temen aja. Terus entar kalo udah masuk Bharatayudha dan belum punya temen, ikut gue sama temen-temen gue aja. Ya walaupun kita nggak sekelas, gue bakal sering-sering nyapa lo kok."
"Bharatayudha?" Nirwana membeo heran.
"Iya, kan besok lo udah fix pindah ke SMA Bharatayudha, sekolah gue sama Kak Juni. Terus kata Papa tadi sih lo entar satu kelas sama Kak Juni."
"Hah? Kok gue nggak dikasih tau apa-apa?" Nirwana total clueless. Jangankan tahu kalau dirinya akan satu kelas dengan Juni, nama sekolahnya saja Nirwana baru mendengar saat ini.
"Lah, Papa nggak ada bilang nih? Ish, kebiasaan Papa udah tua suka lupa deh." Oca mendecakkan lidah. "Tapi entar coba lo cek aja ya lemari kamar lo, Nir. Pasti udah ada seragamnya Bharatayudha deh."
"Waw, Om Fandi beneran udah ngurusin semuanya buat gue ya, Ca? Serius? Sampe sekolah gue juga udah disiapin?"
"Haha iya. Papa orangnya emang gitu. Kalo berurusan itu cepet dan harus kelar. Jadi lo santai aja, siapin mental aja deh buat masuk sekolah besok ya."
"Emang sekolah lo ngeri banget ya?"
"Enggak, sih. Sekolah pada umumnya, kok. Cuma gue kasih warning aja sama lo sebelum lo kaget. Kalo liat anak-anak Arutala, jangan macem-macem sama mereka deh ya."
"Hah? Arutala? Apaan tuh. Namanya aneh-aneh semua. Gue pusing ngingetnya."
Oca terkekeh. Tapi, lantas tangannya meraih iPad yang terletak di atas nakas dan tampak membuka portal aplikasi sosial media. "Nih, ini tuh, Arutala!" seru Oca seraya menunjukkan akun Instagram Arutala yang salah satu postingannya menampilkan potret kebersamaan dua belas laki-laki di tengah alam. Namun, gambar yang terlihat di sana diambil dari jarak cukup jauh sehingga Nirwana tidak bisa memperhatikan dengan jelas wajah-wajah mereka.
"Kalo gue sih nyebutnya geng anak-anak nyebelin karena branding imej mereka yang kadang terkesan arogan, tertutup, terus sok misterius lagi. Padahal aslinya mereka cuma anak-anak ekskul pecinta alam yang kerjaannya tuh ada tiga; manjat, masuk hutan, dan berantem sama orang."
"Berantem?"
"Iya. Kalo ngeliat anak Arutala tubir sama Talas. Nggak usah kaget. Mereka sengaknya emang nyebelin banget, makanya banyak Talas yang nggak suka sama Arutala."
"Talas apaan lagi? Gue taunya talas bogor?"
Oca memutar bola mata. "Talas tuh artinya Tiga Kelas. Kalo dibalik jadi Kelas Tiga. Itu istilah buat senior kelas 12 yang tinggal beberapa bulan lagi bakalan lulus. Mereka pemegang tahta tertinggi deh kalo dijejerin sama Dalas dan Salas. Ngerti dong ya, Dalas itu buat anak kelas sebelas, Salas itu buat anak kelas sepuluh."
"Sekolah lu ribet banget dah."
"Waduh, kayaknya gue harus ngasih satu jam pelajaran khusus lo menghapal seluk beluk Bharatayudha deh." Nirwana meringis. Di saat seperti ini, dia jadi merindukan sekolah lamanya. Sekaligus merindukan pekerjaan bajingan yang dipikulnya selama setahun lebih. Kira-kira di Bharatayudha, Nirwana bisa buka lapak contekan nggak ya? Atau justru anak-anak di sana sudah sepintar Jerome Polin sehingga tidak butuh contekan matematika.
"Apa emangnya yang bikin Arutala semenyeramkan itu, Ca? Gue nggak liat sisi nyereminnya."
"Hmm, gimana ya gue bilangnya. Lo harus liat sendiri deh, Nir. Tapi, saran gue ya mending nggak usah berurusan. Di sana cowok-cowoknya ganteng tapi nyebelin."
"Berarti, kayak—"
Kayak Juni dong. Nyaris saja Nirwana mengucapkan kalimat itu, tetapi buru-buru diralatnya mengingat Oca adalah kembaran Juni. "Kayak tokoh utama cowok di film remaja gitu dong."
"Haha. Beda jauh sih, Nir. Jangan disandingin. Arutala pure nyebelin. Prinsip mereka, siapapun yang jadi musuh salah satu orang di sana, otomatis bakal jadi musuh mereka semuanya."
"Terus kalo dimusuhin mereka semua, apa dong dampaknya?"
"Lo nggak bakal bisa berinteraksi sama salah satu dari mereka di sekolah. Bahkan dengan orang yang udah lo kenal dari lama sekalipun."
Oca menutup kalimatnya dengan raut sendu. Seolah ada kepingan rahasia penting yang disembunyikannya dari Nirwana.
Komentar
Posting Komentar