Intimidasi Juni
Kantin khusus anak kelas 12 letaknya lebih terpencil. Menjorok di dalam terhimpit bangunan aula dan perpustakaan. Tapi, gerai jajanan di sini cukup beragam dan tergolong ramah kantong jika dibandingkan dengan kantin dalas dan salas di lantai atas. Sebagaimana namanya, kantin ini dipertujukan untuk anak kelas dua belas. Penggunanya juga lebih sering anak kelas dua belas, tetapi tidak jarang dalas atau salas yang cukup bernyali ikut nongkrong di sini untuk menikmati ayam goreng kremes paling enak seantero sekolah, atau niat lainnya adalah untuk ngudut tanpa ketahuan. Letaknya yang cukup tersembunyi membuat guru ataupun wakasek kesiswaan jarang melakukan sidak di sini.
"Ini kita makan di sini?" Nirwana bertanya untuk kesekian kalinya memastikan Galuh memang tidak salah membawanya ke tempat ini. Karena sejauh penglihatannya sejak tadi hanya tampak berlalu-lalang anak-anak dengan badge tiga buah garis di lengan menandakan mereka adalah anak kelas 12.
"Nggak. Emang di sini kantin Talas."
"Oh, Talas." Nirwana mengangguk. Ia mengingat info yang diceritakan Oca semalam.
"Lo tau Talas?"
"Tau. Anak kelas 12, kan?"
"Wih, mantep. Pengetahuan lo soal Bharatayudha kayanya udah khatam nih."
"Oh, gue sempet diceritain sepupu gue yang alumni sini," dusta Nirwana.
"Oalah. Lo mau apa, Nir? Gue pesenin ya?"
"Samain kayak lo aja."
"Ayam geprek mau?"
"Oke."
Setelah itu, Galuh pun melangkah menuju kedai ayam geprek meninggalkan Nirwana sendirian di meja. Antrian yang cukup panjang membuat Galuh belum juga kembali meski waktu terbuang lima belas menit percuma. Kebosanan lantas menghampiri Nirwana, tampak sedari tadi ia menggulir laman twitter dengan cepat tanpa selera. Tidak ada postingan yang seru untuk dilihat. Mendadak Nirwana merasa rindu dengan third account miliknya yang diisi para sugar daddy haus belaian.
"Hi, murid baru ya?"
Mengangkat pandangannya, Nirwana menyaksikan seorang pria duduk di hadapannya tanpa permisi. Dari badge yang tersemat di lengan, terlihat bahwa pria itu adalah anak kelas dua belas. "Iya, silahkan, Kak."
"Oh, dalas ya?"
"Iya."
"MIPA 4?"
"Iya," jawab Nirwana menjawab singkat.
"Punya pulpen?"
"Nggak ada." Nirwana menatap bingung. Lagipula untuk apa dia membawa pulpen ke kantin. Nirwana pikir ia bukan seorang artis yang tiba-tiba dimintai tanda tangan.
"Punya nama? Bisa dong disebutin biar bisa gue hapalin."
"Nirwana."
"Nirwana aja? Lengkapnya? Sekalian nama bapak lo boleh, latihan sebelum di depan penghulu."
Memaksakan senyuman, Nirwana melirik ke arah Galuh. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis itu selesai memesan. Antrian masih cukup panjang. Baiklah, kalau begitu, Nirwana harus meladeni si pembual rayuan ini sendirian. "Senandung Nirwana."
"Cantik banget nama lo. Secantik orangnya. Beneran kayak bidadari surga."
"Makasih. Kalo kakak, namanya siapa?"
"Januar Prasetya. Bisa panggil Kak Janu. Kalo panggil sayang tunggu resmi dulu ya."
"Oh, jelek ah kalo dipanggil Kak Janu. Gimana kalo Mas Janu?" Nirwana nyaris menyemburkan tawa melihat bagaimana wajah sang kasanova tampak memerah seperti kepiting rebus.
"Boleh. Apa aja boleh deh. Oiya, boleh minta kontak lo nggak? Kali aja suatu hari nanti gue perlu lo buat ngisi lowongan kerja."
"Lowongan kerja?"
"Iya. Lowongan kerja di hati gue."
"Bisa aja deh, Mas." Aslinya mah basi banget. Nirwana merinding geli.
"Jadi, boleh minta kontaknya?"
"Boleh. Siniin HP Mas Janu."
Januar pun mengangsurkan ponselnya ke tangan Nirwana sesegera mungkin. "Entar malem coba telpon aja ya Mas. HP aku lowbat soalnya tadi makanya nggak bisa kebuka."
"Okedeh, makasih ya cantik. Eh temennya udah balik tuh." Januar menemukan Galuh yang tampak berjalan ke arah mereka sembari membawa nampan berisikan dua piring nasi dan ayam geprek serta dua buah botol aqua.
"Gue pamit dulu ya. Bye, nanti malem gue telpon," ucap Januar sebelum pergi seraya melambaikan tangan yang dibalas anggukan dan senyum tipis oleh Nirwana. Namun, ketika cowok itu mulai menjauh dan tampak membaur bersama gengnya yang duduk di meja paling pojok kantin, tawa kecil Nirwana pun terdengar membuat Galuh praktis mengernyitkan alis.
"Kenapa lo?"
"Enggak. Nggak apa-apa."
Tetapi, senyuman Nirwana saat itu menyiratkan dirinya baru saja berhasil mengelabui mangsa. Jadi, mari kita lihat saja, apakah Januar berhasil terjebak dalam rayuan yang dibuatnya sendiri? Nirwana harap malam ini dia menjadi cicak di kamar Januar agar bisa menyaksikan langsung bagaimana perubahan ekspresi lelaki itu.
"Beneran lo nggak apa-apa, Nir? Serem."
"Iya nggak apa-apa. Gue cuma lagi seneng aja."
Memutar kepala ke arah berlawanan, Nirwana tak sengaja menghentikan gerak bola matanya pada satu titik. Dalam sekejap, senyuman gadis itu pun pupus tergantikan gurat serius penuh kekesalan saat netranya bertumbukkan dengan seseorang yang paling tidak ingin ditemuinya di sekolah ini. Juni Alegori. Lelaki itu diam di depan salah satu stand es jeruk sambil menatapnya penuh intimidasi. Bersamaan dengan gerakan tangannya yang mengetikkan sesuatu di ponsel, dering pesan pun terdengar mengagetkan Nirwana.
Benar, tadi ia berbohong dengan mengatakan ponselnya kehabisan daya. Padahal nyatanya, saat ini Nirwana masih dapat membaca pesan yang Juni kirimkan dengan raut kemarahannya.
Komentar
Posting Komentar