Senandung Bulan Juni Bagian 33

 

Gelas-Gelas Kaca



Mampus. Nirwana menggaruk kepala, pandangannya kosong menyadari apa yang barusan diperbuatnya. Mencari perkara dengan Arutala, padahal semalam Oca sudah memperingatkan untuk jauh-jauh dari mereka. Bagaimana kalau Januar dendam kepadanya? Bagaimana kalau senior itu justru ingin memperkarakan urusan ini ke jenjang yang serius. Oh itu bukan masalah besar. Problematika di sini adalah, bagaimana kalau ternyata Kak Janu dan anak-anak Arutala akan membuat hidupnya berantakan? Hih, mengerikan. Tapi, apakah benar begitu adanya? Nirwana menyangsikannya sesaat. Menilik Januar yang mudah ditipu, berarti manusia-manusia yang tergabung dalam geng tidak jelas bernama Arutala itu juga pasti sebelas dua belas otaknya macam Januar. Sama-sama mudah diperdaya. Lantas mengapa Nirwana harus takut? Kalau Januar saja bisa disingkirkannya dengan akal cerdik, yang lain pun tentu bisa lebih mudah lagi.


"Iya dong, gue harusnya nggak perlu takut. Nirwana mah pemberani. Anaknya Bunda Sarasvati. Apa yang harus gue pikirin? Lagian tuh orang bisa berbuat apasih sama gue." Nirwana memandang bangga pada proyeksi bayangannya di dalam cermin. Gadis itu lalu merapikan helai anak rambut yang terlepas dari ikatan. Senyum percaya diri pun kembali hidup melekat di wajahnya disusul dada yang dibusungkan.


Sedang asyik membangun ego dan kepercayaan diri, mendadak perut Nirwana bergemuruh nyaring. Ia baru ingat belum mengisi lambungnya dengan makanan. Bahkan, ia sengaja mangkir makan malam dengan alasan ingin mengerjakan tugas, padahal aslinya Nirwana hanya sedang malas melihat presensi Juni. Muak sekali jika harus makan di hadapan orang yang selalu menatapnya dengan tatapan merendahkan. Kira-kira, Om Fandi apakah bisa berhadir secepatnya di rumah ini? Nirwana merasa lelah harus menghadapi individu yang kebanyakan menganggapnya sebagai patogen asing. Perlu dienyahkan dan dibuang.


"Kalo bukan demi warisan Bunda sih gue nggak sudi tinggal di sini," gerutu Nirwana lantas bergerak ke arah pintu dan memutar knopnya. Ia lalu berjalan menuruni tangga menuju ke arah kulkas di bagian dapur.


"Ucetda. Ini kulkas orang kaya isinya udah kaya supermarket. Lengkap banget," tukas Nirwana takjub. Ia jadi pusing sendiri saat menemukan begitu banyak bahan makanan dan minuman yang mungkin bisa dijadikan pengganjal untuk perut kelaparan. 


"Lo mau maling isi kulkas?" Nirwana berjengit kaget saat suara Juni muncul dari belakangnya. Dan benar saja saat membalikkan badan, Nirwana menemukan Juni dalam balutan kaos hitam dan celana pendek selutut. Ganteng. Tapi tidak untuk dipuji. Yang ada arogansinya makin tinggi.


"Gue nggak maling ya bego. Ini kan hak gue, secara gue udah tinggal di sini."


"Mbak Ira yang kerja udah sepuluh tahun dan tinggal di sini aja nggak pernah ambil-ambil isi kulkas sembarangan?"


"Mbak Ira siapa?"


"Pembantu."


"Dan menurut lo gue pembantu di sini?"


"Setipe pembantu." Brengsek, ketika Juni mengulurkan tangan untuk meraih sekaleng soda di kulkas, Nirwana pun sengaja melampiaskan kegeramannya dengan menutup pintu kulkas dan menjepit tangan Juni di sana. 


"ANJIING!"


Juni menjerit kesakitan. Tidak terima dengan perlakuan Nirwana, ia lantas menangkap lengan gadis itu sebelum sempat menjauh. Namun, rupanya tarikan Juni sangat kuat sampai beban tubuh Nirwana ikut limbung ke arahnya dan berakhir dengan wajah gadis itu menabrak dadanya. Ikut terkejut karena jarak mereka menjadi terlalu dekat, Juni kemudian mendorong Nirwana ke lantai. Tetapi sayang, ia lupa kalau saat itu jemari Nirwana sedang memegangi ujung kaosnya sehingga otomatis Juni ikut terjatuh juga menimpa Nirwana.


"Aaaaaaaaa!"


Nirwana mengaduh kesakitan. Tubuhnya baru saja jatuh berdebum menyentuh lantai marmer putih yang kerasnya bukan main. Membuka mata perlahan, gadis itu praktis melotot menyadari jarak antara wajahnya dengan Juni menyisakan beberapa senti. Terlampau dekat sampai fokus Nirwana jatuh kepada bibir merah muda Juni yang sedikit terbuka. 


Mampus. Ini terlalu intens. Nirwana tidak sanggup bergerak ataupun berteriak. Lagipula, mengapa Juni tidak segera bangkit dan menjauh. Mengapa lelaki itu justru menatapnya lekat-lekat?


"Kak Juni! Fanta gue manaaa!!!"


Gema suara Oca terdengar dari ruang tengah disusul derap langkahnya yang terburu-buru. Juni yang semula membeku, serta-merta tersadarkan akan tujuan awalnya. Laki-laki itu lantas segera bangkit dan berdiri untuk menghadapi Oca. Namun, ketika Nirwana ingin ikut menegakkan tubuh, Juni justru mendorongnya untuk segera melipat tubuh di bawah meja makan. 


"Anjir!"


"Diem! Cepet ngumpet." Entah mengapa, kali itu Nirwana menurut. Ia berjongkok di bawah meja makan seraya menyembunyikan wajahnya sendiri. 


"Kak! Lama banget sih lo!" Suara Oca terdengar lebih jelas. Sepertinya gadis itu sudah berdiri di ambang pintu dapur.


"Sorry, ada kecoa ganggu tadi."


Kecoa? Sial, Juni menganggapnya hanya seekor kecoa? Nirwana menggeram kesal.


"Hah, sumpah? Ih, Mbak Ira lupa bersih-bersih apa gimana." Oca langsung panik. Dirinya yang paling anti melihat binatang menjijikkan itu langsung memundurkan langkah.


"Nggak tau, Ca. Lo balik aja ke depan tv. Entar gue bawain fanta lo. Sekarang gue mau meriksa dulu kali aja ada kecoa lagi."


"Oh, okey. Sekalian nitip popcorn, buatin?"


"Yah ngelunjak."


"Sesekali!"


"Iya deh iya!"


"Btw, liat Nirwana nggak?"


"NGGAK!" sahut Juni ketus.


"Idih, sante dong. Langsung segitunya gue tanya Nirwana."


"Paling lagi keluar. Gue nggak mau ngurusin dia."


"Ck, lo sama persis kaya Mami."


"Lo juga sama persis kaya Papi. Mau aja dibohongin cewek itu. Apa yang terlihat nggak selalu sama dengan apa yang sebenernya, Ca. Sekali orang berbohong, lo nggak bisa percaya orang itu lagi selamanya."


Nirwana tertegun. Entah Juni sengaja atau tidak mengucapkan hal itu, ia harus mengakui Juni berhasil menyentil sisi sentimentil. Mendadak saja, Nirwana teringat perkataan Papa yang sudah cukup lama tidak ditemuinya.


"Nir, kepercayaan orang itu serapuh gelas kaca. Sekali jatuh, dia akan retak. Sekali retak, dia nggak akan bisa menampung air. Untuk orang-orang seperti kita, kepercayaan itu sulit dipertahankan untuk waktu yang lama. Tapi, Nir, sebanyak apapun Papa membohongi orang, Papa enggak pernah bisa membual di hadapan Bunda. Karena menurut Papa, untuk orang yang kamu cintai dan bisa menerima kamu apa adanya, kamu tidak perlu berusaha menjadi sempurna dengan menciptakan segala macam dusta. Kamu hanya perlu menjadi kamu dan memperlihatkan ketulusan kamu. Saat ini, mungkin Nirwana nggak ngerti, tapi Papa harap suatu saat nanti kamu juga ketemu orang yang tepat yang bisa bikin kamu berusaha keras menjaga kepercayaan mereka."




 




Komentar