Hati-Hati dengan Hatimu
Layar ponsel Nirwana yang sebelumnya menampilkan grup obrolan dengan ketiga temannya kini berganti oleh dering panggilan mengejutkan. Begitu membaca nama Juni yang tertera pada id caller, Nirwana spontan mendesis kesal. Ia sempat berpikir untuk menolak panggilan tersebut, namun mengingat keadaannya yang sedang terjebak saat ini, Nirwana berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Juni. Semoga saja lelaki itu punya sedikit tenggang rasa kepada dirinya, kendati Nirwana pun masih seratus persen sangsi. Sebab, dilihat dari sikap Juni yang sejak awal tidak suka dengan kehadirannya di rumah mereka, tentu membuat Nirwana yakin bahwa laki-laki itu sangat benci berurusan dengan dirinya.
"Halo, Juni! Juni, tolongin gue!"
"What? Tolongin lo?" Terdengar suara Juni di seberang sana dengan nada sinis.
"Jun, please, gue kekunci di toilet. Sumpah, ini pintunya nggak bisa kebuka. Gue lupa tadi masuk toilet dimana!"
"Lo berulah apalagi sih, Nirwana?"
"Hah? Apasih, gue ini lagi kekunci di wc bukan lagi bikin ulah!"
"Lo udah bikin temen gue malu gara-gara dilemparin tong sampah!" Intonasi Juni meninggi, terdengar begitu marah.
"Hah? Jadi..., si Aksa itu temen lo juga?" Nirwana mencicit takut. Kenapa sih temen lo muncul di sekitar gue semua, batin Nirwana merutuk.
"Iya. Udah berapa anak Arutala sih yang lo kerjain, Nirwana?"
"Arutala?"
"Perlu gue sebutkan? Sabiru, Sena, Januar, sekarang Aksa. Jadi, siapa target lo selanjutnya?"
Sebentar. Nirwana berusaha memproses segalanya dalam waktu beberapa detik. Arutala. Januar termasuk bagian Arutala. Aksa kabarnya juga adalah anak Arutala. Mereka berdua tampaknya berteman akrab dengan Juni. Sedangkan Sabiru Prama Dipta adalah karibnya Juni. Namun, Sean ini siapa? Nirwana berusaha mengingat sejenak. Tapi, kotak memorinya seperti terlalu berdebu untuk bisa memutar informasi masa lalu. Sehingga, ia abaikan dulu fakta tersebut dan mencoba fokus kepada problematika lainnya. Jika mereka semua adalah bagian dari Arutala, dan mereka juga adalah temannya Juni. Maka....Tunggu, sial, Nirwana merasa seperti sedang memecahkan soal premis untuk tes potensi akademik.
"Bentar dulu. Mereka yang lo sebutin barusan anak Arutala?"
"Iya. Lo pasti udah tau kan tentang Arutala? Gue rasa Oca udah cerita banyak sama lo."
Sudah! Oca sudah menceritakan secara umum tentang Arutala. Namun, Nirwana tidak pernah iseng bertanya dan meminta Oca untuk memberikan biodata satu persatu anggota klub pencinta alam tersebut. Nirwana semula tidak ingin terlalu tahu. Sampai akhirnya ia pun sadar, ketidaktahuan ini justru menjerumuskannya dalam jebakan untuk berurusan dengan Arutala.
"Gue nggak tau siapa aja yang termasuk Arutala. Tapi, bentar, kok lo bisa temenan sama mereka semua. Jangan-jangan..."
"Lo belum tau? Gue Juni, daksa-nya Arutala."
"Hah. Apaan tuh, gue hidup di jaman Majapahit apa gimana sih!" Nirwana semakin pusing dengan beragam istilah tak familiar untuknya ini.
"Ck! Daksa itu istilah buat wakil lah pokoknya. Jadi, gue wakil ketua di Arutala!" Juni di seberang sana kian emosi karena ketidaktahuan Nirwana.
"Oh, cigitu."
Atmosfir Juni yang diselimuti api kemarahan tampak kontras dengan Nirwana yang terlampau kebingungan. Akhirnya ia hanya dapat merespon seadanya tanpa kesan kaget sedikitpun. Menjauhkan ponsel dari telinga, Nirwana kembali mencoba membuka pintu. Berharap knopnya bisa diputar, tetapi yang ditemui masih terkesan kaku—mungkin macet karena sudah aus.
"Respon lu gitu doang?"
"Jun, entar dulu deh Jun. Bantuin gue dulu dong! Gue kekonci beneran. Ini kayanya pintunya rusak. Mana bentar lagi masuk pelajaran. Ayo, dong, Juni! Please," mohon Nirwana sekali lagi mencoba peruntungan.
"Mampus lo. Nggak bakal gue bantuin."
"Eh, Juni, sumpah! Gue aduin Om Fandi lo ya, gue bilang kalo lo yang ngunciin gue di wc!"
Terdengar tawa Juni di seberang. Tawa menyebalkan seperti iblis yang berbahagia tatkala mangsanya dalam derana. "Lo ngaduin gue? Berani? Gimana kalo gue aduin balik soal kasus penipuan murahan yang lo lakuin dulu? Gue masih ada buktinya. Lagian, temen gue juga seratus persen mau kok disuruh bersaksi membuka aib lo."
"Anjing!" Nirwana mengumpat kesal. "Yaudah terserah lo deh kalo nggak mau bantuin!"
Panggilan dimatikan sepihak. Nirwana pun mendesah panjang. Ia lalu merapatkan tubuhnya untuk bersandar pada dinding ruangan. Ukuran toilet ini terlampau sempit dan ventilasinya sangat pengap. Lampunya juga padam, menyisakan sedikit serat cahaya yang masuk lewat celah terbuka. Sepertinya toilet ini sudah tidak lagi digunakan. Lokasinya pun cukup jauh dari gedung anak kelas sebelas. Nirwana jadi tidak habis pikir kenapa ia bisa sampai di sini, gara-gara Aksa yang mengejarnya seperti kesetanan, Nirwana terpaksa lari cukup jauh dan bersembunyi. Sekarang, ia justru terjebak. Sudah tidak tahu seluk beluk Bharatayudha, tidak bisa mengenali arah dengan baik pula. Kepalang sial. Mana Juni tidak mau membantunya sama sekali. Menilik kembali ponsel yang sempat dianggurkan sejenak, Nirwana lagi-lagi berusaha mengirimkan pesan di grup obrolan.
Guys, pintunya rusak kayanya deh. Gue masih belom bisa keluar, udah nyoba dorong tapi tetep gak bisa
Dalam harap cemas, Nirwana menunggu balasan. Menit berikutnya, muncul Galuh menimpali pesannya.
Galuh: Nir, udah masuk pelajaran. Pak Fajar ngasih kuis dadakan :( lo tadi di alfa gara2 Pak Fajar ngira lo bolos
Shit. Nirwana meringis. Ia akhirnya terduduk lemas di atas kloset. Sial sekali kehidupan ini. Pantas Bunda cepat mati, sungutnya dalam batin. "Ck, nggak, jangan nyerah. Lo harus mikir, Nirwana. Mikir. Mikir. Mikir."
Nirwana kembali berdiri, kepalanya ditengadahkan ke arah atap yang cukup tinggi. Menurut perhitungannya, kalau dirinya berhasil ketika mencoba memanjat di atas kloset sepertinya ia bisa bebas. "Oke. Mari kita coba."
Memasukkan ponselnya ke dalam kantong, Nirwana lantas menaikkan satu kakinya ke atas kloset. Perlahan-lahan, sambil berpegangan pada dinding, ia mulai mencoba memanjat. Problematika yang Nirwana dapatkan ketika berhasil mencuatkan kepalanya di atas dinding adalah ia baru sadar kalau membebaskan diri dengan cara memanjat ini bukan termasuk ide yang tepat. Roknya cukup ketat, jika kakinya harus dilebarkan untuk menaiki pembatas dinding, kemungkinannya hanya satu yaitu; robek. Selain itu, melihat ke arah bawah ternyata juga menyeramkan sekali. Seolah-olah jarak dengan lantai menjadi begitu tinggi. Nirwana sempat merasa ciut. Tapi, keinginan untuk bebas mengendalikan dirinya lebih kuat. Peduli setan dengan rok yang robek. Nirwana akan segera pulang kalau ia bisa terbebas.
Akhirnya setelah memantapkan hati, gadis itu pun kembali memanjat. Kakinya berusaha melewati pembatas dinding dengan kepayahan sementara kedua tangannya menyangga tubuh dengan bergelantungan. Dan usaha Nirwana tidak sia-sia saat separuh badannya sudah melintasi tembok. Tinggal mencoba menstabilkan posisi lalu melompat turun ke bawah dengan berani. Sayangnya, ekspektasi kadang tak seindah realita. Keseimbangan Nirwana sempat goyah membuat satu kakinya jatuh terlebih dahulu bersama punggungnya menimbulkan bunyi debuman keras disusul teriakan kencang. Posisi jatuh yang tidak proporsional membuat roknya juga harus meregang kuat dan akhirnya mencapai batas dengan menuai suara sobekan.
"Aaaaaaa! Sakittt!"
"Nirwana!" Di saat yang bersamaan, seseorang muncul setelah mendobrak pintu. Dan betapa terkejutnya Nirwana karena menemukan Juni berlari ke arahnya dengan raut panik.
"Aaaaaaaa! Lo ngapain di sini!" Nirwana semakin histeris karena melihat Juni.
"Gue...." Gerak mata Juni tanpa sengaja berhenti menatap rok Nirwana yang robek cukup panjang hingga menampilkan paha putihnya.
"Aaaaaa!!! MESUM!" Nirwana mengambil sepatunya yang terlepas ketika jatuh tadi lantas memukulkannya kepada Juni.
"Enggak! Woy, anjing! Gue mau nolongin lo!"
"Bohong! Lo ada maunya."
"Emang."
"Tuh, kan!"
"Lo harus dapet konsekuensi!"
"Konsekuensi apaan! Gue nggak melanggar peraturan."
"Lo harus minta maaf sama anak Arutala!"
"Yaudah si, maaf. Gue kan juga nggak tau ya maklum!"
"Nggak semudah itu. Lo harus turutin keinginan anak Arutala sebagai permintaan maaf lo."
"HEH, NGGAK SUDI! EMANG LO SAMA ARUTALA YANG LO BANGGA-BANGGAIN TUH SIAPAA?!"
"Apa lo bilang? Okey, kalo gitu gue laporin semua penipuan lo ke Papa." Juni bangkit, ia lalu berdiri menjauh dari Nirwana dan mengeluarkan ponselnya.
"JANGAN, ANJING! KALO GUE BATAL DAPET DUIT ASURANSI GIMANA!" Nirwana mencoba untuk mencekal Juni, namun kakinya masih terasa nyeri dan pergerakannya juga kaku sekali. Sehingga, gadis itu pun praktis terjatuh kembali.
"Aaaaaa, Juni sakiittt," rengek Nirwana. "Kaki gue kayanya keseleo, Juuunn!"
"Ah, lo boong pasti biar gue kasihan."
"Nggak bohong! Ini sakit beneran bego!" Air mata memupuk di ujung pandang Nirwana, gadis itu merasakan marah, kesal, sekaligus sedih bercampur menjadi satu. "Sakitt, sumpah sakit banget, huwaaaa. Bundaaaa!"
"Eh, Nir." Juni mendadak panik saat tangis Nirwana bertambah keras, disimpannya ponselnya kembali ke dalam saku. Lantas, Juni pun berjongkok kembali di dekat gadis itu. Tungkai kanan Nirwana sekilas tampak bengkak dan merah. Sepertinya benar, mungkin ada sendi yang mengalami dislokasi.
"Sakit beneran?" tanya Juni sulit percaya.
"YAIYALAH, BEGOOO!" jawab Nirwana semakin emosi.
"Bisa berdiri?"
"Bisa kayang gue. YA MENURUT LO AJA?!"
"Sini, pegangan ke gue dulu. Gue bantu lo ke UKS." Juni lantas melingkarkan lengan Nirwana ke lehernya, sementara tangannya sendiri terselip di antara lutut dan punggung gadis itu. Tanpa merasa keberatan, Juni pun mengangkat tubuh Nirwana dan membawanya keluar dari sana.
Jarak antara toilet parkiran belakang—tempatnya talas memarkirkan motor sebelum ada parkiran baru di sebelah barat gedung, dengan ruangan UKS sebenarnya tidak terlalu jauh. Apalagi Juni sengaja berlari melewati jalan pintas dekat koperasi supaya bisa mencapai UKS lebih cepat lagi. Namun, entah mengapa, Nirwana merasakan waktu bergulir sangat lambat. Apalagi karena debar jantungnya yang berpacu begitu hebat. Dengan sudut pandang di posisi ini, Nirwana bisa menyaksikan tegasnya rahang Juni yang membuatnya jadi merasa kalau saat itu Juni Alegori terlihat TAMPAN SEKALI.
Oh, No! Tidak, Nirwana. Jangan coba-coba untuk tertarik dengan orang yang bahkan ingin menyingkirkan keberadaanmu.
Komentar
Posting Komentar